LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
By: Anindya and Tulus
1. Pendidikan pada Zaman Prasejarah
Sebelum
ditemukannya tulisan, nenek moyang kita mentransmisikan kebudayaan mereka
secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang prasejarah
menggunakan sistem ‘trial and error’ untuk mengembangkan kecakapan
bertahan hidup yang akhirnya menjadi suatu pola budaya (Ornstein dan Levine,
2008: 55). Budaya tersebut ditransmisikan ke generasi selanjutnya, dan secara
enkulturasi, generasi baru belajar bahasa kelompok dan keterampilan dan
mengasimilasi nilai-nilai moral dan religi. pada masa ini generasi pendahulu
juga mengajarkan beberapa kebiasaan yang dianggap tabu atau terlarang sehingga
generasi baru dapat terjaga secara moral. Oleh karena itu, alat transmisi yang
tepat pada masa ini yaitu dengan tradisi lisan yang memadukan mitos dengan
peristiwa sejarah yang sebenarnya. Dan metode bercerita ini kini dikembangkan
menjadi salah satu metode pembelajaran khususnya bagi anak usia prasekolah dan
tingkat dasar.
2. Perkembangan Pendidikan Dunia pada Zaman Sejarah
Perjalanan
sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme
(150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance
serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Secara garis besar,
perkembangan sejarah pendidikan dunia pada masa tersebut dapat dilihat dalam
tabel pada Lampiran 1. Selanjutnya, pendidikan mulai menunjukkan perbedaan
eksistensinya dengan pendidikan – pendidikan sebelumnya yaitu pendidikan pada
zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme,
(5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7)
Sosialisme.
2.1 Zaman
Realisme
Seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah
baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan
dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak
berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran
yang praktis (Pidarta, 2007: 111-14). Menurut aliran ini, pengetahuan yang
benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui
persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh
pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius.
Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
· Pendidikan
lebih dihargai daripada pengajaran,
· Pendidikan
harus menekankan aktivitas sendiri,
· Penanaman
pengertian lebih penting daripada hafalan,
· Pelajaran
disesuaikan dengan perkembangan anak,
· Pelajaran harus
diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
Pengetahuan
diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta
khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus
belajar dari realita alam, pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus
mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (Mudyahardjo: 111-114).
2.2 Zaman
Rasionalisme
Aliran
ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak
untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan
bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan
akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan
absolut.
Tokoh
pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang
terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti
menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang
dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori
yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif,
seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (Mudyahardjo:
114-115).
2.3 Zaman
Naturalisme
Sebagai
reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran
Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan
yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup
yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara
kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan
dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam). Naturalisme menyatakn bahwa
manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran
di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
2.4 Zaman
Developmentalisme
Zaman
Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut
gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi,
Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
· Mengaktualisasi
semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang
harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
· Pengembangan
ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007:
116-20) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
· Pendidikan
adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang
baik (nurture).
· Pengembangan
pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan
universal (Mudyaharjo, 2008: 114).
2.5 Zaman
Nasionalisme
Zaman
nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot
bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La
Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan
yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
· Menjaga,
memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
· Mengutamakan
pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
· Materi
pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan
kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan
pendidikan jasmani.
Akibat
negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu
kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa
Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I
(Pidarta, 2007: 120-21).
2.6 Zaman
Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman
ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat
untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang
ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang
berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme
percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan
terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte
(Pidarta, 2007: 121).
2.7 Zaman
Sosialisme
Aliran
sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak
liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul
Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey. Menurut aliran ini, masyarakat
memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak
ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus
diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (Pidarta, 2007: 121-24).
B. Landasan Historis Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada
sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan
Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125).
Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan masing-masing zaman tersebut
secara lebih terperinci. Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan
sejarah pendidikan Indonesia:
1. Zaman
Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme
and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme
merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki
kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur
Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang
Negara Indonesia yaituBhinneka Tunggal Ika , secara etimologis
berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215). Tujuan pendidikan
pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan
dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha
(Mudyahardja, 2008: 217).
2. Zaman
Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam
mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar
Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan
dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun
sebagai arus kebudayaan (Mudyahardja, 2008: 221). Pendidikan Islam pada zaman
ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan
pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi
sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (Mudyahardja,
2008: 223). Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara
terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di
suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali
Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan
yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (Mudyahardja, 2008:228-241).
3. Zaman
Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa
Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan
Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai
bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan
dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di
samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold),
bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan
agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya
pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu
dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja
di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution,
2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi
misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis
dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde
ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala
sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo, 2008: 243).
Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan
pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di
mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang
ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4). Sedangkan pengaruh Kristen
berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah
pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk
menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu
kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie)atau
Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap
VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan
Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang
bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh
VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah
berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk
melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan,
Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman
Kolonial Belanda
VOC
pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh
Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya.
Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis
politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di
tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda
(Nasution, 2008: 3).
Pada
tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral
dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena
pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal
aliran Ufklarung atauEnlightement, yang mana mengatakan bahwa
pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak
mempengaruhi mereka (Nasution, 2008: 8).
Oleh
karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya
ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual,
nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan
untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun1848
dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun
menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia
sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal
yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (Nasution, 2008:10-13).
Pada
tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudulHutang
Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan
agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi
ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi,
pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting
pendidikan. Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa
Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju
dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya (Nasution, 2008:16-17).
Sejak
dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang
pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini
meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain
anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah
menimbulkan elite intelektual baru. Golongan baru inilah yang kemudian berjuang
merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat
kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada
tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah
itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch
Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai
Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik
anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33). Secara
garis besar sejarah pendidikan Indonesia yang meliputi perkembangan sistem,
kurikulum, guru, siswa dan tujuannya dari Masa Prasejarah hingga Kolonial dapat
diamati pada Lampiran 2.
5. Zaman
Jepang
Perjuangan
bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita
untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan
alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan
semangat 45 di hati mereka.
Meskipun
demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di
bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah
Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang.
Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang
untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam
pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi
Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia
menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.
6. Zaman
Kemerdekaan (Awal)
Setelah
Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini
karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai
Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu
bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana
mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan
pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan.
Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang
terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan
yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat
dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak
pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak
dapat bersekolah.
7. Zaman
Orde Lama
Setelah
gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai
digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik
spiritual maupun material. Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system
pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan
Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi
warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial,
sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di
samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat
membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di
dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang
ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan
Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan
masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan
kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan
penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi
(Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman
Orde Baru
Orde
Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan
pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde
Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Menurut Orde Baru, pendidikan
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam
sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di
dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat(Mudyahardjo, 2008:
422-433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam
Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai
mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan.
Di
samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang
pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional
dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008:
137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran
pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan
berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian,
dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan.
Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu
(1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2)
kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak
menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari
kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara
wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun
demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1)
kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan
kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat
(Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman
Reformasi
Selama
Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal
yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan
perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai
Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi
masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan
menyaampaikan pendapatnya (Pidarta, 2008: 143).
Begitu
Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang
baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun.
Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa
program yang jelas. Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk,
pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin.
Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam
bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang
Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi
desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan
meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka.
Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan,
misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima
Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
C. Implikasi
Landasan Historis terhadap Konsep Pendidikan di Indonesia
Masa lampau
memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita
miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah
pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu (Nasution, 2008: v).
Pembahasan
tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan
sebagai berikut:
1. Tujuan
Pendidikan
Pendidikan
diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta
didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan
juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan, kemanusiaan, kemanusiaan,
serta kemandirian peserta didik. Di samping itu, tujuan pendidikan harus
diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki nilai guna yang tinggi yang
dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
2. Proses
Pendidikan
Proses
pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi pelajaran harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode
global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siswa
dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu,
demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
3. Kebudayaan
Nasional
Pendidikan
harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam Pidarta (2008: 149)
mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah dan
menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
4.
Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi
harus bersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di Indonesia, bukan
sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga diharapkan pada akhirnya
membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem
Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi
Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1991. Pedoman
Pendidikan Tinggi. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar
Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Oernstein, Allan C., dan Levine, Daniel U.
2008. Foundations of Education. New York: Houghton Mifflin Company
Pidarta, Made. 2007. Landasan
Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
-----------------.2009. Landasan
Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan
Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia
Posting Komentar untuk "LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN "