Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LANDASAN KULTURAL PENDIDIKAN SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS

By: Rima Trian dan Puri Selfi
A.     Hakikat Pendidikan
1.        Pengertian Pendidikan secara Etimologis dan Terminologis
Pendidikan adalah hal yang sangat vital dalam kehidupan manusia, tanpa pendidikan peradapan manusia tidak akan berkembang. Pendidikan dianggap penting untuk mempermudah proses pemenuhan kebutuhan dalam perkembangan zaman yang sangat pesat. Namun, tidak semua orang benar dalam memaknai pendidikan itu sendiri, banyak yang menganggap bahwa pendidikan hanya sekedar proses pemenuhan kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami pengertian pendidikan secara mendalam menurut para pakar dengan berbagai sudut pandang yang berbeda.
“Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan” (Munawar, dkk. 2012:6). Dari pernyataan tersebut, dapat dijelaskan bahwa di dalam suatu peradaban masyarakat terjadi suatu proses pendidikan, entah itu formal maupun non formal. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meneruskan hidupnya dan telah berlangsung sepanjang peradaban umat manusia.
a)      Pengertian pendidikan secara etimologis
Pengertian pendidikan dijelaskan oleh berbagai bangsa di dunia dengan istilah yang berbeda-beda. Menurut bangsa Yunani, pendidikan adalah ‘pedagogik’ yaitu ilmu menuntun anak. Bangsa Romawi memandang pendidikan adalah educare yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai “Erzichung” yang setara dengan educare, yakni membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak. Dalam bahasa Jawa pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan), mengolah, mengubah, kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran dan watak, mengubah kepribadian sang anak (Rohimin, dkk, 2011:2).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pendidikan berasal dari kata dasar didik yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:204 ). Dari berbagai pengertian pendidikan secara etimologis di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah proses menuntun anak untuk mengembangkan perilaku, pikiran, dan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.
b)      Pengertian pendidikan secara terminologis
Pengertian pendidikan secara Terminologis disampaikan oleh beberapa pakar. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Rohimin, dkk, 2011:4), pendidikan merupakan usaha memajukann budi pekerti, pikiran dan fisik supaya tercipta kesempurnaan hidup dan hidup anak menjadi selaras dengan alam dan masyarakat. Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan harus mendahulukan aspek-aspek berikut ini.
1.                 Semua alat, upaya, dan strategi pendidikan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
2.                 Keadaan yang sebenarnya itu terdapat dalam adat istiadat setiap masyarakat dan merupakan suatu kesatuan dengan sifat perikehidupan masyarakat serta usaha dan daya untuk mencapai hidup tertib damai.
3.                 Adat istiadat tersebut dipengaruhi oleh zaman dan tempat, oleh karena itu senantiasa mengalami perubahan.
4.                 Untuk mengetahui jati diri dari suatu bangsa perlu mempelajari zaman terdahulu.
5.                 Pengaruh baru diperoleh karena interaksi dengan bangsa lain di masa yang lebih modern, maka dari itu harus dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Menurut buku ‘Higher Education for America Democracy’ (dalam Rohimin, dkk, 2011:5), pendidikan merupakan lembaga dalam setiap masyarakat yang beradab, namun tujuan pendidikannya tidak sama dalam tiap masyarakat tersebut. Sistem pendidikan dan tujuan pendidikan setiap masyarakat berdasarkan pada prinsip, nilai, cita-cita dan filsafat yang diyakini oleh masyarakat tersebut. Menurut Prof. Richy dalam buku ‘Planing for Teaching and Introduction to Education’, pendidikan berhubungan dengan fungsi yang lebih luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu bangsa terutama dalam membawa generasi muda untuk menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat (Rohimin, dkk, 2011:5).
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat diartikan bukan sekedar proses di dalam sekolah saja, namun lebih luas dan kompleks di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus sadar akan proses pendidikan tersebut, sehingga dapat membawa bangsanya ke dalam hidup yang lebih baik. Kesadaran tersebut perlu dipupuk dan dipelajari terutama oleh generasi muda sebagai generasi penerus masa depan bangsa.

2.      Fenomena Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia kenyataannya masih terbelenggu oleh sistem. Sistem itulah yang mengatur segalanya. Kenyataan tersebut diperparah oleh anggapan masyarakat bahwa pendidikan itu hanya berlangsung di sekolah (lembaga formal), banyak masyarakat kita yang tidak memahami bahwa pendidikan itu juga terjadi di dalam keluarga, masyarakat, dan kehidupan berbangsa.
Penanaman karakter terhadap anak sangat terlihat kurang, bahkan sekarang cenderung dipaksakan melalui proses pendidikan di sekolah. Sejatinya karakter tersebut sudah ada dalam jati diri bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Seperti kita ketahui bahwa pancasila merupakan merupakan hasil refleksi dari nilai, adat istiadat, dan norma-norma yang digali dari dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, penanaman karakter yang lebih kompleks dan lebih dominan seharusnya terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Bukan hanya sekedar dalam suatu lembaga.
Kenyataan lain juga terlihat bahwa pendidikan di Indonesia sebagian besar didominasi hanya untuk perolehan kognitif atau mengajarkan anak berpikir tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang ada. Peningkatan kemampuan anak untuk merasa (afektif) dan memahami sejatinya hidup sangatlah kurang. Dari kenyataan tersebut, maka tidak jarang bahwa pendidikan hanya menciptakan manusia yang pintar, namun kurang menciptakan manusia yang punya perasaan. Kemudian istilah manusia robot pun terkadang juga tepat untuk menggambarkan kondisi ini. 

3.      Hakikat Pendidikan
“Pendidikan merupakan ‘transfer of knowledge, transfer of value, transfer of of culture, and transfer of religius’ yang semua diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia” (Rohimin, dkk, 2011:8). Hakikat pendidikan yaitu usaha untuk mengubah perilaku tiap anggota masyarakat agar sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Menurut Paula Freire (dalam Rohimin, dkk, 2011:8), “hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri”. Dalam konteks ajaran agama Islam, hakikat pendidikan adalah mengembalikan fitrah manusia dengan tuntunan Al-Quran dan hadist.
Hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai teori dengan pendekatannya masing-masing. Namun pada dasarnya, hakikat pendidikan merupakan sebuah pertanyaan tentang apakah pendidikan itu. Dan manusia berusaha untuk menemukan jawabannya dengan menggunakan berbagai pendekatan. Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan (dalam Tilaar, 2002:18-32) dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar yaitu pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.
a)      Pendekatan reduksionisme
Teori-teori yang dihasilkan dari pendekatan reduksionisme banyak dipaparkan dalam ilmu pendidikan. Berbagai pendekatan reduksionisme tersebut antara lain:
1.                 Pendekatan pedagogis. Pendekatan ini melahirkan child centered education, yaitu bahwa pendidikan berpusat kepada kepentingan anak, sehingga cenderung melupakan bahwa anak juga anggota masyarakat.
2.                 Pendekatan filosofis. Pendekatan ini melahirkan ilmu pendidikan yang memandang anak sebagai titik tolak proses pendidikan. Nilai-nilai anak yang khas, perkembangan etis dan religi anak dianggap suatu yang harus dihormati dalam pendidikan.
3.                 Pendekatan religius. Pendekatan ini melahirkan pemikiran bahwa pendidikan adalah proses mengatur peserta didik menjadi manusia yang religius sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan mempersiapkan peserta didik untuk hidup sesuai dengan kodratnya.
4.                 Pendekatan psikologis. Pendekatan ini cenderung mempersempit pendidikan sebagai proses belajar mengajar dan menuntun penguasaan ilmu dan spesialisasi dari tenaga medis.
5.                 Pendekatan negativis. Pendekatan ini memandang pendidikan sebagai upaya mengembangkan kepribadian dan membudayakan manusia.
6.                 Pendekatan sosiologis. Pendekatan ini memandang bahwa peserta didik merupakan anggota masyarakat, oleh karena itu hakikat pendidikan merupakan keperluan untuk hidup bersama dalam masyarakat.
b)      Pendekatan holistik integratif
Pendekatan ini melihat pendidikan secara menyeluruh. Hakikat pendidikan menurut pendekatan holistik integratif adalah proses untuk mengembangkan eksistensi peserta didik dalam bermasyarakat, berbudaya, dan dalam tata kehidupan lokal, nasional, maupun global.

B.      Hakikat Kebudayaan
1.        Pengertian Kebudayaan
Dalam istilah inggris, budaya adalah culture, yang berasal dari bahasa latin corele yang berarti ‘mengolah’, ‘mengerjakan’. Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia (Sutarno, 2008:1-4). Menurut Margared Mead (dalam Sutarno, 2008:1-4), “budaya merupakan perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau kelompok”. Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-4) memberi arti kebudayaan dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, budaya merupakan kesenian, sedangkan dalam arti luas kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya yang dihasilkan manusia melalui proses pembiasaan dengan belajar serta seluruh hasil budi dan karyanya.
Menurut Bullivant (dalam Sutarno, 2008:1-5), budaya merupakan suatu program untuk bertahan hidup dan beradaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan oleh suatu kelompok. Program tersebut terdiri atas pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. Raymond Williams mendefinisikan budaya merupakan pengungkapan dan pengaturan hubungan-hubungan sosial dan bentuk komunikasi dalam anggota masyarakat meliputi organisasi produk, struktur keluarga, struktur lembaga (Sutarno, 2008:1-5).

2.      Unsur-Unsur Kebudayaan
Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-6) merumuskan unsur-unsur kebudayaan adalah sebagai berikut.
1.                  Sistem religi dan upacara keagamaan
2.                  Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3.                  Sistem pengetahuan
4.                 Bahasa
5.                 Kesenian
6.                 Sistem mata pencaharian hidup
7.                  Sistem teknologi dan peralatan

Unsur-unsur yang terdapat pada urutan atas merupakan unsur yang sulit untuk berubah. Semua unsur-unsur tersebut merupakan unsur budaya yang universal, yaitu berlaku di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Kebudayaan di seluruh dunia juga memiliki ketujuh unsur tersebut.
3.      Wujud Kebudayaan
Koentjaraningrat (dalam Sutarno, 2008:1-8) menyatakan bahwa wujud kebudayaan adalah sebagai berikut.
1.                 Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba. Terletak di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya adalah pengatur, penata, pengendali, dan pemberi arah kelakuan manusia dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan, yaitu sistem nilai budaya (yang paling abstrak dan luas), sistem norma-norma (lebih kongkrit), dan peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan santun) yang paling kongkrit dan terbatas ruang lingkupnya.
2.                 Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang selalu mengikuti pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
3.                 Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan berupa benda yang dapat diraba dan dilihat.

4.      Pranata Kebudayaan
Pranata (institution) yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan berdasarkan kebutuhan hidup manusia yang hidup dalam ruang dan waktu :
1.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (kinship atau domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
2.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda (economic institutions). Contoh : pertanian, industri, koperasi, pasar.
3.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational institutions). Contoh : pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, pers.
4.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta (scientific institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa, satelit.
5.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahannya dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions). Contoh: batik, seni suara, seni gerak, seni drama, olah raga.
6.                 Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib (religious institutions). Contoh : masjid, do’a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
7.                  Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic institutions). Contoh : perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran (Sutarno, 2008:1-12).

5.      Hakikat Kebudayaan
a)      Rumusan Edward B. Tylor
Pelopor Antropologi, Edward B. Tylor dalam bukunya ‘Primitive Culture’ mendefinisikan “budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuandan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat” (Tilaar, 2002:39).
Analisis hakikat kebudayaan merupakan titik tolak untuk mengerti hakikat pendidikan, beberapa hal yang perlu disimak mengenai hakikat kebudayaan yaitu sebagai berikut.
1.                 Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks. Hal ini berarti bahwa kebudayaan merupakan suatu kesatuan dan bukan jumlah dari bagian-bagian. Keseluruhannya mempunyai pola-pola atau desain tertentu yang unik. Setiap kebudayaan mempunyai mozaik yang spesifik.
2.                 Kebudayaan merupakan suatu prestasi kreasi manusia yang non material artinya berupa bentuk-bentuk prestasi psikologis seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni dan sebagainya.
3.                 Kebudayaan dapat pula berbentuk fisik seperti hasil seni, terbentuknya kelompok-kelompok keluarga.
4.                 Kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang terarah seperti hukum, adat-istiadat yang berkesinambungan.
5.                 Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang dapat dilihat.
6.                  Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.
7.                 Kebudayaan tidak terwujud dalam kehidupan manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup di dalam suatu masyarakat tertentu (Tilaar, 2002:39-40)
Selain penjelasan di atas, Tylor (dalam Tilaar, 2002:40), juga memberikan penekanan kepada faktor manusia yang mendapatkan nilai-nilai dari masyarakatnya. Tylor juga menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kebudayaan dan peradaban. Tylor kemudian menjelaskan pentingnya peran nilai-nilai dalam kebudayaan. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan tiga hal yang harus dicatat mengenai hakikat kebudayaaan yaitu.
1.                 Adanya keteraturan dalam hidup bermasyarakat.
2.                 Adanya proses pemanusiaan.
3.                  Di dalam proses pemanusiaan itu terdapat suatu visi tentang kehidupan.
                Kebudayaan merupakan suatu proses pemanusiaan artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan, motivasi. Di dalam proses pemanusiaan tersebut yang penting bukan hanya prosedur dan teknologi tetapi juga jangan dilupakan isi atau materi perubahan dan perkembangan (Tilaar, 2002:41).

b)      Pandangan Ki Hajar Dewantara
Konsep Ki Hajar Dewantara mengenai hakikat kebudayaan nasional dikenal dengan teori trikon. Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Tilaar, 2002:43), kebudayaan merupakan hasil budi manusia dan merupakan hasil perjuangan manusia dalam menghadapi dua pengaruh kuat yaitu alam dan zaman. Dalam perjuangannya manusia dapat mengatasi segala rintangan hingga tercapainya hidup yang tertib dan damai.
Teori trikon mengandung beberapa hal yang penting, antara lain sebagai berikut.
1.                 Kebudayaan memiliki sifat kebangsaan dan merupakan perwujudan sifat, watak, kepribadian bangsa.
2.                 Kebudayaan selalu memperlihatkan keindahan dan adat kemanusiaan suatu bangsa yang tinggi. Keluhuran dan kehalusan hidup merupakan ukuran yang selalu dipakai.
3.                 Kebudayaan menunjukkan kemenangan manusia dalam perjuangan melawan kekuatan alam dan zaman, selalu memberikan kemudahan dengan adanya alat-alat baru untuk mengembangkan, menunjukkan, dan mempertinggi taraf kehidupan manusia (Tilaar, 2002:43).  

C.     Pendidikan dalam Kebudayaan
1.        Kepribadian dalam Proses Kebudayaan
Kepribadian menurut teori superorganik kebudayaan dari Kroeber (dalamTilaar, 2002:50) merupakan bukti nyata adanya peranan pendidikan di dalam kebudayaan. Tanpa memiliki kepribadian, maka manusia tidak akan bisa menghasilkan kebudayaan. Ruth Benedict (dalam Tilaar, 2002:51) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan istilah sosiologis dari tingkah laku yang dapat dipelajari.
Peranan pendidikan dianggap penting dalam pembentukan kepribadian manusia. Para pakar behavioris dan psikoanalis memperhatikan pendidikan dalam kebudayaan. Para pakar behavioris melihat perilaku manusia sebagai reaksi terhadap rangsangan di sekitarnya. Di sinilah peran pendidikan dalam proses pembentukan perilaku manusia. Para pakar psikoanalis menjelaskan bahwa perilaku manusia didasarkan adanya dorongan-dorongan yang sadar maupun tidak sadar. Dorongan-dorongan tersebut ditentukan antaralain oleh kebudayaan tempat tinggal manusia (Tilaar, 2002:51).
John Gillin menyatukan pandangan behavioris dan psikoanalis mengenai perkembangan kepribadian manusia sebagai berikut.
1.                  Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
2.                 Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya kelakuan-kelakuan tertentu.
3.                 Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk kelakuan yang sesuai dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat budaya tertentu.
4.                 Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses belajar (Tilaar, 2002:51).

2.      Transmisi Kebudayaan
Kebudayaan ditransmisikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Beberapa ahli pendidikan menjelaskan bahwa sebenarnya proses pendidikan itu merupakan proses transmisi kebudayaan. Seperti dijelaskan bahwa kepribadian bukanlah semata-mata hasil tempaan dari kebudayaan. Kebudayaan itu sendiri juga terus menerus berubah. Di dalam mentransmisikan kebudayaan (dalam Tilaar, 2002:54-55) terdapat beberapa hal utama yang harus diperhatikan antara lain, yaitu.
1)       Unsur-unsur yang ditransmisikan
Unsur-unsur tersebut ialah nilai-nilai kebudayaan, adat-istiadat masyarakat, pandangan mengenai hidup serta berbagai konsep hidup lainnya yang ada di dalam masyarakat. 
2)       Proses transmisi
Proses transmisi meliputi proses-proses imitasi, identifikasi, dan sosialisasi. Imitasi adalah meniru tingkah laku dari sekitar. Transmisi unsur-unsur tidak dapat berjalan dengan sendirinya, oleh sebab itu unsur-unsur tersebut harus diidentifikasi.
Proses identifikasi berjalan sepanjang hayat sesuai tingkat kemampuan manusia itu sendiri. Selanjutnya unsur-unsur budaya tersebut harus disosialisasikan artinya harus diwujudkan dalam kehidupan nyata di dalam kehidupan yang semakin lama semakin luas.
3)       Cara mentransmisikan
Dalam hal ini terdapat dua bentuk cara mentransmisikan budaya yaitu melalui peran serta dan bimbingan. Peran serta dapat diwujudkan dengan ikut serta di dalam kegiatan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakat. Bimbingan dapat dilakukan melalui pranata-pranata tradisional seperti inisiasi, sekolah agama, sekolah formal yang sekuler.

Proses transmisi kebudayaan dalam masyarakat modern akan jauh lebih berat dengan banyaknya tantangan-tantangan. Oleh karena itu diperlukan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian yang kreatif dan mampu memilih nilai-nilai yang baik dari berbagai lingkungan yang ditemui.  
3.      Pendidikan dalam Proses Pembudayaan
Pentingnya peranan pendidikan di dalam kebudayaan menurut pemikiran Ki Hajar Dewantara dapat kita lihat dalam ‘sistem among’ yang berisi mengajar dan mendidik. Tugas lembaga pendidikan bukan hanya mengajar untuk menjadikan orang pintar dan pandai berpengetahuan dan cerdas, tetapi mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam kehidupan agar supaya kelak manusia berpribadi yang beradab dan bersusila. Selanjutnya Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang beradab dan berbudaya. Sebagai manusia budaya ia sanggup dan mampu mencipta segala sesuatu yang bercorak luhur dan indah, yakni yang disebut kebudayaan (Tilaar, 2002:56).

Dengan adanya nilai-nilai kebudayaan yang kompleks dan terintegrasi, maka pendidikan harus dilihat dari berbagai sudut pandang multidisipliner seperti filsafat, antropologi, sosiologi, biologi, psikologi, dan sebagainya. Seperti telah diketahui bahwa kebudayaan adalah normatif karena terarahkan ke dalam suatu kompleks nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat. Proses pendidikan itu sendiri juga normatif, tidak buta nilai. Proses pendidikan sebagai proses pembudayaan harus melihat peserta didik secara menyeluruh atau sebagai manusia yang seutuhnya.
Di dalam proses pembudayaan terdapat beberapa istilah yang membantu dalam perubahan kebudayaan manusia. Istilah tersebut antara lain sebagai berikut: penemuan dan invensi, difusi, inovasi, alkulturasi, asimilasi, dan prediksi masa depan. Dalam prosesnya masing-masing, istilah-istilah tersebut memberikan dampak terhadap kemajuan dan perkembangan kebudayaan manusia, hal tersebut tidak terlepas dari peran manusia sebagai agen yang aktif dalam proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan  kepada manusia sebagai agen yang aktif sangat penting sebagai bagian dari proses pembudayaan manusia itu sendiri.  
D.     Kebudayaan dalam Pendidikan
Kebudayaan dalam pendidikan saat ini menjadi hal yang penting, sebagaimana pendidikan adalah proses pembudayaan. Ulasan tetang kebudayaan dalam pendidikan menjadi hal yang penting karena dua hal utama (Tilaar, 2002:67). Petama, kebudayaan hanya diartikan secara sempit. Sempitnya lingkup kebudayaan kini hanya terbatas pada kesenian, baik seni rupa, seni tari, seni bahasa dsb. Kedua, pembatasan kebudayaan pada nilai intelektual belaka. Dalam hal itu, pendidikan nyatanya bukanlah tempat kebudayaan dapat berkembang, seolah kebudayaan sudah tercerabut dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Keberadaan kebudayaan dalam proses pendidikan dapat dijabarkan antara lain dalam dua hal berikut: konsep taman siswa dan pendidikan budi pekerti.
1.      Konsep Taman Siswa
Konsep Taman Siswa merupakan sebuah konsep peletakan dasar-dasar pendidikan nasional yang berorientasi budaya. Ki Hajar Dewantara yang dinobatkan pula menjadi Bapak Pendidikan Nasional melahirkan konsep Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922 (Anshoriy, 2008:69).  Rumusan Pendidikan menurut menurut Ki Hajar Dewantara dalam Tilaar (2002:68) yaitu “pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.”
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa sebenarnya Ki Hajar Dewantara membuka sebuah pemikiran bahwa pendidikan haruslah berasaskan kebudayaan sendiri. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan cita-citanya, maka diterapkan asas-asas pendidikan dan dasar-dasar. Butir-butir penerapan asas pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara (dalam Haryanto, tanpa tahun:http://staff.uny.ac.id) dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.                 Kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan..
2.                 Kebudayaan yang menjadi dasar atau alas pendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan.
3.                 Pendidikan mempunyai arah dan tujuan untuk  mewujudkan keperluan perikehidupan. 
4.                 Arah dan tujuan pendidikan untuk mengangkat derajad Negara dan rakyat.
5.                 Pendidikan yang visioner.
Selain penjabaran dari asas yang berupa butir-butir di atas, Taman Siswa juga memiliki dasar-dasar pendidikan sebagai lanjutan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yaitu terkenal dengan sebutan Panca Darma, yaitu: kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan
 Kebudayaan merupakan dasar praksis pendidikan (Tilaar, 2002:70). Hal tersebut memberikan implikasi bahwa tidak hanya seluruh proses pendidikan berjiwakan kebudayaan nasional, melainkan unsur kebudayaan harus diperkenalkan dalam proses pendidikan. 
2.      Pendidikan Budi Pekerti
Dewasa ini muncul berbagai permasalah budi perkerti terlebih di era modernisasi seperti sekarang. Terdapat tiga akar permasalah budi pekerti yang muncul saat ini yaitu: 1) melemahnya ikatan keluarga, 2) kecenderungan negatif  dalam kehidupan pemuda, 3) perlunya nilai-nilai etik (Tilaar, 2002:74).
Keluarga yang merupakan lingkungan awal anak berkembang mulai kehilangan fungsinya. Dengan demikian terjadi sejenis kekosongan dalam pengembangan diri anak. Banyaknya kasus perceraian menyebabkan hilangnya sebagaian peran keluarga dalam pengembangan diri anak sehingga banyak terjadi disintegrasi moral. Sekolah kini memiliki peran ganda dikarenakan hal tersebut. Oleh sebab itu sekolah perlu memperhatikan atau mewujudkan masyarakat moral dakam kehdiaupan sekoalah yang membantu anak-anak yang tidak memperolehnya dalam lingkungan keluarga.
Permasalahan yang kedua yaitu adanya kecenderungan negatif dalam kehidupan pemuda. Dewasa ini banyak sekali kasus yang melibatkan pelajar khususnya di kota-kota besar. Hal tersebut juga merupakan akibat dari disintegrasi keluarga seperti poor-parenting. Para generasi muda telah kehilangan pegangan dan keteladanan dalam meniru kelakuan yang etis.
Focus permasalahan yang ketiga yaitu perlunya nilai-nilai etik. Seiring dengan maraknya permasalahan berakar pada nilai-nilai yang tidak dijunjung, kebangkitan nilai berkenaan dengan nilai-nilai obyektif yang dijadikan pengkitan bersama mulai dikembangkan. Nilai-nilai yang bersifat mengikta tersebut merupakan nilai hakikat manusia (human dignity) yang diperlukan untuk kemakmuran bersama.
Berdasarkan ketiga bahasan di atas, guru memiliki peran penting dalam pendidikan budi pekerti. Thomas Lickona (dalam Tilaar, 2002:76) mengungkapkan 9 tugas guru dalam pengembangan budi pekerti yaitu: 1) sebagai model, 2) masyarakat bermoral, 3) mempraktikkan disiplin moral, 4) situasi demokratis di kelas, 5) pewujudan nilai dalam kurikulum, 6) budaya kerjasama, 7) kesadaran karya, 8) refleksi moral, dan 9) resolusi konflik.
            Pendidik merupakan model sekaligus mentor dari peserta didik dalam mewujudkan nilai dalam kehidupan di sekolah. Tanpa guru, akan sulit mewujudkan pranata sosial dalam lingkungan sekolah. Perwujudan hal tersebut dimulai hendaknya sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Tugas kedua yaitu masyarakat sekolah haruslah merupakan masyarakat bermoral. Bila berbicara tentang budaya sekolah maka tujuan utama bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual tapi juga mengembangkan nilai-nilai positif seperti kejujuran, kebenaran, dan pengabdian masayarakat.
Tugas selanjutnya yaitu mempraktikkan disiplin moral. Moral merupakan sesuatu yang restrictive, artinya mengarahkan kelakuan dan pikiran seseorang untuk berbuat baik. Sudah sepatutnya baha sebagai model dan mentor, para pranata sosial sekolah adalah orang-orang praktisi di dalam pendidikan.
Sebagai praktisi yang menciptakan situasi demokratis di ruang kelas adalah guru. Pengenalan situasi demokratis tidak melalui indoktrinasi tetapi melalui proses inkuiri dan pengahayan intensif mengenai nilai-nilai moral tersebut. Di ruang kelas terjadi proses pembelajaran yang konkrit yaitu dengan pelaksanaan penghayatan moral yang paling dasar.
Nilai-nilai tersebut bukan langsung disampaikan melalui pembelajaran di dalam kelas, melainkan melalui integrasi dalam kurikulum sekolah. Hal tersebut memberi penegasan bahwa setiap mata pelajaran haruslah mengintegrasikan pendidikan budi pekerti.
Pendidikan yang baik juga mampu memberikan bekal kepada peserta didik untuk berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan penanaman konsep kerja sama, kehidupan bersama, dan belajar bersama. Hal tersebut sesuai dengan peran guru yang tidak hanya mengembangkan kecakapan secara pribadi namun juga mendorong para siswa secara bersama melalui penciptaan kesiapan belajar bersama.
Tugas guru selanjutnya yaitu menumbuhkan kesadaran karya.  Dalam pranata sosial sekolah, guru hendaknya menumbuhkan nilai-nilai kekaryaan pada peserta didik yaitu kerja keras, cinta kepada kualitas, disiplin kerja, kreativitas, dan juga termasuk kepemimpinan. Selain hal yang bersifal kekaryaan tersebut, guru juga hendaknya dapat mengembangkan refleksi moral. Refleksi moral dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti. 
Tugas pendidik yang terakhir yaitu mengajarkan resolusi konflik. Hal tersebut sesuai dengan perkembangan nilai yang ada di masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut akan mengalami konflik yang mengindikasikan adanya perkembangan kebudayaan. Dengan demikian, refleksi moral merupakan salah satu bagian penting dalam kehiduapan demokratis bermasyarakat dan perkembangan kebudayaan.

E.      Pendidikan Multikultural
Wacana tentang Pendidikan Multikultural bertujuan untuk merespon berbagai konflik sosial, etnis, dan budaya yang sering muncul di tengah masyarakat yang multikultural. Berbagai konflik tersebut akan memberikan hambatan bagi pembangunan sebuah negara jika tidak teratasi dengan segera. Berdasarkan wacana tersebut diperlukan upaya pemecahan, sebagaimana yang bertanggung jawab dalam hal tersebut antara lain pendidikan.
Pendidikan sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya baik pendidikan dalam kebudayaan atau kebudayaan dalam pendidikan memiliki peran penting dalam pengembalian fungsi budaya bangsa sebagai identitas nasional. Pengembalian fungsi tersebut melalui materi, metode hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Sebagaimana pendapat Mahfud (2006:5) bahwa selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi social, budaya dan multikulturalisme.  Sesuai dengan penjabaran tersebut dalam bagian ini akan dibahas tentang Multikultural dan Pendidikan Multikultural.
1.      Multikultural
a.      Pengertian Multikultural
Pengertian multikultural secara luas mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus. Persepsi umum tersebut akan bedampak pada perilaku siswa yang digambarkan sebagai berikut.
Multikultural berakar dari teori pluralism. Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi,  nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Penggambaran pluralisme budaya tersebut memiliki definisi operasional sebagai penghargaan terhadap berbagai tingkat perbedaan namun masih tetap menjaga persatuan nasional. Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen (Sutarno, 2003:2-3). 
Multikulturalisme berdasar dari kata kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran) (Mahfud, 2006:75). Dari pernyataan tersebut multikulturalisme berarti aliran yang menganut banyak budaya.  Berasal dari kata  multi  (plural) dan  kultural  (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural. (Irhandayaningtyas, 2012:2). Hal tersebut mencakup baik keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat.
Tourine (dalam Race, 2011:24) mendefinisikan multikultural dengan sedikit berbeda yaitu bertemunya berbagai kebudayaan. Hal tersebut menegaskan tentang eksistensi dari keberadaan budaya yang harus dihargai. Upaya menghargai perbedaan budaya harus dapat direfleksikan di seluruh lapisan masyarakat.  Lebih lanjut konsep multikulturalisme yang disajikan oleh Banks (dalam Race, 2011:2) bahwa,
“A philosophical position and movement that assumes that the gender, ethnic, racial, and cultural diversity of a pluralistic society should be reflected in all of the institutionalised structures of educational institutions, including the staff, the norms and values, the curriculum and the students body.”
Teori di atas menyatakan bahwa multikulturalisme merupakan sebuah posisi dan pergerakan filosofis yang menganggap bahwa baik gender, etnis, ras, suku dan perbedaan budaya dari lingkungan pluralistic harus direfleksikan pada segala struktur institusi pendidikan.  Struktur institusi tersebut mencakup keseluruhan termasuk nilai dan norma, kurikulum, siswa dan juga para staff.
Pendapat di atas dijabarkan lagi  oleh Fay, Jary dan Jary, dan Watson (dalam Suparlan, 2002:98) bahwa multikulturalisme yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme yang merupakan sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme terserap dalam semua kegiatan manusia baik ekonomi, bisnis, politik dan kehidupan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan pendapat dari para ahli, dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme merupakan pandangan tentang budaya yang beragam yang direfleksikan secara menyeluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan derajat manusia. Oleh sebab itu multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.
b.      Akar Sejarah Multikulturalisme di Indonesia
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan  akan  pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya, yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Perbedaan dihargai dan dipahami sebagai realitas kehidupan, hal ini adalah asumsi dasar yang juga melandasi paham multikulturalisme (Irhandayaningtyas, 2012:5).  
Secara historis, kejatuhan Indonesia pada awal reformasi menyebabkan terjadinya disintegrasi yang disebabkan krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Krisis sosial budaya yang terjadi pada masa itu meluas dalam bentuk seperti disintegrasi sosial karena euforia kebebasan, lenyapnya kesabaran sosial dalam menghadapi realitas, merosotnya kepatuhan terhadap  hukum, etika, dan moral. Selain hal tersebut, terjadi pula konflik dan kekerasan berkelanjutan yang bersumber politis, etnis dan agama seperti di Sulawesi, Kalimantan Barat dan Tengah, dan Aceh.
Rawannya konflik berakar pada budaya dikarenakan Indonesia merupakan negara yang termasuk ke dalam pluralisme kultural. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hafner (dalam Mahfud, 2006:83) bahwa pluralisme kultural di Asia Tenggara khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Singapura sangat mencolok.
Masyarakat Indonesia dengan kompleks kebudayaannya masing-masing adalah plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen (Kusumohamidjojo, 2000: 45). Pluralitas mengindikasikan adanya situasi yang tidak tunggal atau jamak, sebagai contoh Indonesia terdiri dari tidak kurang 500 suku bangsa. Heterogenitas berindikasi adanya kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidaksamaan dalam unsure-unsurnya. Hal tersebut diartikan bahwa suatu kebudayaan dan masyarakatnya bisa berbeda satu dari lainnya.
Konsep pluralistik yang ada di Indonesia saat itu berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan tapi juga mengandung keragaman budaya tersebut, maka para penguasa cenderung melaksanakan politik keseragaman budaya (monokulturalisme). Pengalaman Indonesai sejak awal kemerdekaan dan masa Orde Baru memperlihatkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme.
Lebih lanjut bahwa sejarah multikulturalisme bisa dilacak sedikitnya selama tiga dasa warsa kebijakan yang sentralistis telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional, dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak di beberapa kawasan Indonesia pada akhir tahun 1990-an menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun secara nasional. Hal tersebut diakibatkan rendahnya saling pengertian antar kelompok yang menyangkut nilai-nilai multikulturalisme di Indonesia.
Kenyataan Indonesia terdiri dari berbagai kultur merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Realitas tersebut harus berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan Nasional Indonesia. Perbedaan budaya yang terjadi seringkali dapat mempercepat timbulnya konflik. Mahfud (2006:89) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul yaitu 1) primordialis, 2) instrumentalis, dan 3) konstruktivis.
Pandangan primordialis berpendapat bahwa perbedaan genetikan, seperti suku, dan ras merupakan sumber utama lahirnya benturan kepentingan etnis. Pandangan instrumentalis berpendapat bahwa suku, agama, dan identitas lainnya dianggap sebagai alat untuk mengejar tujuan-tujuan besar. Oleh karena itu, selama orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki kaum elit, selama itu pula benturan antarkelompok identitas dapat dihindari. Selanjutnya yaitu pandangan kaum kontruktivis yang berpendapat bahwa identitias kelompok tidak bersifat kaku. Etnisitas dianggap sebagai sebuah kekayaan yang hakiki sehingga tidak terjadinya benturan dikarenakan pandangan bahwa persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah.
c.       Multikulturalisme dan persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing.  Konsep multiulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk. Hal tersebut sesuai dengan Suparlan (2002:99) bahwa multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Secara umum multikuluturalisme yang dikenal oleh masyarakat awam adalah multikulturalisme dalam bentuk deskriptif, yakni menggambarkan realitas multikultural di tengah masyarakat. Selain multikulturalisme deskriptif, sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif, yakni suatu sokongan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan entah atas hak dari kelompok-kelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui, atau atas keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh lewat tatanan masyarakat yang lebih  luas keragaman moral dan kulturalnya (Heywood, dalam Irhandayaningtyas, 2012:5). Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar, terarah, dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan multikulturalisme. Parekh (dalam Mahfud, 2006:93) membedakan lima model multikulturalisme yaitu: 1) isolasionis, 2) akomodatif, 3) otonomis, 4) kritikal, dan 5) kosmopolitan.
Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. Multikulturalisme akomodatif,  yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secar a kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan. Kelompok ini menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
Multikulturalisme kritikal/interaktif, yaitu masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

2.      Pendidikan Multikultural
a.      Pengertian
Perbedaan budaya dan etnis bagi siswa tentunya memberikan pengaruh yang juga berbeda dalam proses pendidikan. Hal tersebut sesuai pendapat Omrod (2008:136) bahwa perbedaan budaya dan etnis dapat mempengaruhi pendapat siswa tentang kesuksesan secara berbeda dan akibatnya menetapkan tujauan juga berbeda yang juga dapat mempengaruhi atribusi mereka.
Banks (dalam Terra dan Bromley, 2010:4 ) menyatakan bahwa Pendidikan Multikultural berawal dari pernyataan bahwa “all students—regardless of their gender, social class, racial, ethnic or cultural characteristics—should have an equal opportunity to learn in school.” Pernyataan tersebut memberi pengertian  bahwa semua siswa harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah tanpa memperhatikan gender, kelas social, ras, etnis, atau karakteristik budaya mereka. Dasar pemikiran itulah yang mengawali program Pendidikan Multikultural.
Nieto (dalam Suparmi, 2012:111) mendefinisikan bahwa Pendidikan Multikultural merupakan sebuah proses reformasi sekolah secara konprehensif  dan dasar pendidikan untuk semua siswa. Ini merupakan suatu tantangan untuk menghapus rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah dan masyarakat, serta untuk menerima pluralisme, dari komunitas siswa dan guru. Tujuh karakteristik dasar Pendidikan Multikultural dalam definisi ini, yaitu: 1) Pendidikan Multikultural yang anti rasisme, 2) Pendidikan Multikultural merupakan dasar dari pendidikan, 3) Pendidikan Multikultural sangat penting untuk semua siswa, 4) Pendidikan Multikultural merupakan pelajaran  yang dapat meresap dalam pelajaran lain (pervasive), 5) Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan untuk keadilan sosial, 6) Pendidikan Multikultural adalah sebuah proses, dan 7) Pendidikan Multikultural merupakan pedagogy yang kritis.
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dariindividu, kelompok maupun negara (Banks dalam Sutarno, 2008:1-20). Lebih lanjut, James A. Banks dalam (Race, 2011:9) mendefinisikan konsep Pendidikan Multikultural sebagai berikut:
“Multicultural education is at least three things: an idea or concept, an educa-tional reform movement, and a process. Multicultural education incorporates
the idea that all students . . . should have an equal opportunity to learn in
school. Another important idea in multicultural education is that some students, because of these characteristics, have a better chance to learn in schools
as they are currently structured than do students who belong to other groups
or who have different cultural characteristics..”

Pendidikan Multikultural setidaknya terdiri dari tiga bagian yaitu ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompokras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Hal penting lainnya dari ide Pendidikan Multikultural yaitu beberapa mudid karena karakteristik tertentu memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah sebagaimana struktur saat ini daripada siswa yang termasuk pada golongan lain atau memiliki multikultural karaktersitik. sekolah. Jadi Pendidikan Multikultural mencakup: 1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, 2) gerakan pembaharuan pendidikan, dan c) proses pendidikan.
b.      Tujuan Pendidikan Multikultural
Hasil yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada definisi, justifikasi, asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak variasi tujuan khusus dan tujuan umum Pendidikan Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan faktor kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural menurut Sutarno (1-24) mencakup: a) pengembangan literasi etnis dan budaya, b) perkembangan pribadi c) klarifikasi nilai dan sikap, d) kompetensi multikultural, e) kemampuan ketrampilan dasar, f) persamaan dan keunggulan pendidikan, g) memperkuat pribadi untuk reformasi sosial, h) memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh, i) memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia, dan j) hidup berdampingan secara damai.
1)      Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok etnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
2)      Perkembangan Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang tersebut merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa. Pendidikan Multikultural juga membantu mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan memenuhi kebutuhan individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi rasa penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya.
3)      Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkatnilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksud pernyataan tersebut adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Proses menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4)      Kompetensi Multikultural
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras,dan kultural berbeda dari dirinya. Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik. Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya dan dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya.
5)      Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah,  berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis.
6)      Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Aspek lain dari tujuan memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang masyarakat adalah mengembangkan rasakesadaran sosial (a sense of social consciousness), keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan persamaan. Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping prinsip demokrasi (Banks dalam Sutarno, 2008:1-28).
7)      Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan selanjutnya dari Pendidikan Multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam  kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Tujuan dan pengembangan ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih benar-benar egaliter dan lebih menerima pluralisme kultural.
8)      Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh.
Dengan mengetahui kekayaan budayabangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9)      Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia, namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Siswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and globally.
10)  Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannyadapat hidup berdampingan secara damai. Berdasarkan kesepuluh tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Multikultural yang mendasar adalah mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa dengan karakteristik budayanya masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensinya secara penuh dan dapat mempengaruhi perubahan sosial.
c.       Fungsi Pendidikan Multikultural
The National Council for Social Studies (Gorski dalam Sutarno, 2008-1-30) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi tersebut yaitu: a) memberi konsep diri yang jelas, b) membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya, c) membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat, d) membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills) dan e) mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.
Pendidikan Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidakadilan. Fungsi Pendidikan Multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial. Konsep di atas dapat dirinci menjadi tiga butir perubahan yaitu: a) perubahan diri, b) perubahan sekolah dan persekolahan, dan c) perubahan masyarakat.
Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan.

d.      Problema Pendidikan Multikultural
Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi yang berbeda. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya.
Problema kemasyarakatan penyebab munculnya konflik budaya di masyarakat menurut Sutarno (2008:4-9) adalah:  a) keragaman identitas budaya daerah, b) pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, c) kurang kokohnya nasionalisme, d) fanatisme sempit, e) konflik kesatuan nasional dan multikultural, f) kesejahteraan ekonomi yang tidak merata, g) keberpihakan yang salah dari media massa.
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah dapat memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi aneka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Terlebih lagi sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, terjadilah  pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah yang membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya.
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.
Isu tersebut berkembang menjadi fanatisme. Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit yang menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyakterjadi di tanah air ini. Mahfud (2006:119) memberikan data bahwa pada kasus konflik antara warga Dayak dan Madura di Sampit menjadi salah satu konflik bernuansa SARA di Indonesia dengan jumlah korban tewas mencapai 315 jiwa. 
Terjadinya konflik menarik hubungan antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional dan adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya. Oleh sebab itu keterlibatan orang dalam berbagai peristiwa destruktif yang marak terjadi di tanah air ini karena orang mengalami tekanan di bidang ekonomi. Keberpihakan yang salah dari media massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa. Hal yang menjadi obyek liputan dan cara meliputnya dapat membentuk opini publik terutama bagi mereka yang kurang berpendidikan.
Pembelajaran Berbasis Budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya. Beberapa permasalahan awal Pembelajaran Berbasis Budaya pada tahap persiapan awal, antara lain: 1) guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik; 2) guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya; 3) rendahnya kemampuan guru dalam  mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing dalam konteks pengalaman belajar yang diperoleh (Dikti dalam Sutarno 4-22).
            Berdasarkan problema di atas letak sebenarnya permasalahan bukan kepada apa yang guru ajarkan dalam pendidikan tetapi lebih kepada bagaimana materi tersebut diajarkan dalam keragaman budaya di lingkungan pendidikan. Race (2011:96) menyatakan bahawa untuk praktik Pendidikan Multikultural yang lebih efektif dipengaruhi oleh tiga hal berikut yaitu metode, kedalaman, dan jangkauan. Metode dikaitkan dengan cara guru untuk mengijinkan siswa berbicara, berfikir dan melakukan refleksi. Kedalaman yang dimaksud yaitu praktik untuk menghindari pemberian “tanda.” Lebih lanjut bahwa seluruh hal yang bersifat stereotip harus dihindari. Jangkauan yang dimaksud yaitu paktik lebih didiasakan pada kebutuhan untuk menjadi internasional daripada nasional.
Berdasarkan uraian di atas, problema Pendidikan Multikultural menjadi sebuah wacana bagi guru untuk merefleksikan pengajaran yang dilakukan berdasarkan multikultural. Lebih lanjut, guru juga perlu mendapatkan dukungan untuk memulai karirnya berdasarkan keragaman budaya dari lingkungan sekolah yang berbeda-beda. Hal tersebut akan mengakibatkan hubungan yang baik antara masyarakat dan lingkungan sekolah sehingga cita-cita Pendidikan Multikultural dapat tercapai.


SUMBER RUJUKAN: 
Anshoriy, Nasruddin. 2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan: Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme.  Yogyakarta: LKiS.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta  Balai Pustaka.
Haryanto. Tanpa Tahun. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantoro (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131656343/PENDIDIKAN%20KARAKTER%20MENURUT%20KI%20HAJAR%20DEWANTORO.pdf , diakes pada 3 Oktober 2013).
Irhandayaningtyas, Ana. 2012. Kajian Filosofis terhadap Multikulturalisme Indonesia, (Online), (http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/3988/3664 diakses pada 5 Oktober 2013).
Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Mahfud, Choirul. 2006. Pendidikan Multi Kultural. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Munawar dan Mujiono. 2012. Landasan Kependidikan (Makalah). Semarang: Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Omrod, Jeanne, Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Terjemahan oleh Amitya Kumara. 2008. Jakarta: Erlangga.
Race, Richard. 2011. Multiculturalism and Education. London: Continuum International Publishing Group.
Rohimin, Saodah. T, dan Salam. A. Tanpa tahun. Hakikat Pendidikan (Makalah). Bandung: Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Makalah disajikan dalam Sesi Pleno I pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002. Dalam Antropologi Indonesia (Online), (http://anthropology.fisip.ui.ac.id/httpdocs/jurnal/2002/69/10brt3psu69.pdf), diakses 5 Oktober 2013.
Suparmi. 2012. Pembelajaran Kooperatif dalam Pendidikan Multikultural. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, (Online), 1 (1): 108-118, (http://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/article/download/1055/857), diakses 5 Oktober 2013.
Sutarno. 2008. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Terra, Luke & Bromley, Patricia. 2011. The Globalization of Multicultural Education in Social Science Textbooks: Cross-national Analyses, 1950-2010.  , (Online) (http://www.patriciabromley.com/TerraBromleyNAME.pdf diakses pada 10 Desember 2011).
Tilaar, H.A.R.. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Posting Komentar untuk "LANDASAN KULTURAL PENDIDIKAN SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS"