Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ANALISIS LANDASAN UU NO. 20 TAHUN 2003, UU NO. 14 TAHUN 2005 , DAN UU NO. 12 TAHUN 2012


Analisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional

A.    Landasan Filosofis
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa landasan filosofis pendidikan nasional Indonesia sejalan dengan landasan filsafat bangsa Indonesia itu sendiri yaitu Pancasila. Pancasila (dalam Kaelan, 2002: 181) merupakan dasar filsafat negara sekaligus dasar filsafat hidup bangsa Indonesia. Seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai pancasila, termasuk pendidikan. Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila (dalam Kaelan, 2002: 181-182) yang tergambar di dalam UU No. 20 Tahun 2003 antara lain adalah.
  1. Pada pasal 3, dijelaskan bahwa pendidikan nasional antara lain berfungsi agar peserta didik  menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hal ini sejalan dengan hakikat sila pertama Pancasila yaitu kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Pada pasal 4, dijelaskan antara lain bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, hal tersebut sesuai dengan hakikat sila keempat bahwa suatu keharusan untuk bersifat demokratis, serta hakikat sila kelima bahwa seluruh warga harus dijamin berdasarkan prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan sosial.
B.     Landasan Psikologis
Landasan psikologi (dalam Syaripudin, 2009:9) merupakan “asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah psikologi”. Asumsi-asumsi tersebut menggambarkan betapa pentingnya aspek-aspek psikologi manusia dengan karakteristik dan perkembangannya. Di dalam UU No. 20 Tahun 2003, dapat dijelaskan bahwa sistem pendidikan nasional juga berlandaskan pada aspek-aspek psikologis. Hal tersebut terlihat dalam pasal-pasal dalam undang-undang tersebut antara lain pasal 1 ayat 1, 8, dan 14; pasal 3; pasal 5 ayat 2, 4, dan 5; pasal 12 serta pasal 32. Dalam pasal-pasal tersebut, dapat dirangkum bahwa sistem pendidikan nasional melaksanakan pendidikan dengan memperhatikan suasana belajar, proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik guna mengembangkan kemampuan dan membentuk watak. Perkembangan peserta didik merupakan dasar bagi penentuan jenjang dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Pendidikan bagi anak usia dini juga diperhatikan sesuai dengan karakteristik anak pada usia tersebut, sehingga dapat membantu tumbuh kembang anak. Bagi mereka yang memiliki kelainan fisik, mental, emosional, intelektual juga menjadi dasar bagi pelaksanaan pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut juga mewadahi mereka yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa yang juga harus diberi penanganan khusus. Sistem pendidikan nasional juga mendukung pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat (life long education) sebagai upaya pemenuhan kebutuhan perkembangan manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan.

C.    Landasan Sosiologi-Budaya
Landasan sosiologi-budaya (dalam Syaripudin, 2009:150) menjelaskan tentang dasar bagaimana manusia mempertahankan eksistensinya melalui sosialisasi dan enkulturasi. Pemikiran tersebut juga diadobsi oleh UU No. 20 Tahun 2003, melalui beberapa pasal di dalamnya antara lain pasal 1 ayat 16; pasal 4 ayat 1, 3, dan 5; pasal 5 ayat 3; pasal 54 dan pasal 55 menjelaskan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan berbasis masyarakat, artinya pendidikan diselenggarakan sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan dilaksanakan untuk seluruh komponen masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat adat yang terpencil juga berhak atas layanan pendidikan. Pendidikan bukan sekedar transfer ilmu, namun di dalamnya terdapat pula proses pembudayaan melalui enkulturasi dan proses pemberdayaan peserta didik melalui sosialisasi, di dalam proses tersebut juga terdapat peran serta masyarakat.  


Analisis Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen

A.    Landasan Historis
Sejarah pendidikan di Indonesia telah memberikan peninggalan yang berharga bagi bangsanya melalui pengajaran konsep pendidik yang baik. Konsep tersebut dikenalkan oleh bapak pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. Dalam konsep tersebut terdapat nilai-nilai yang tersirat dan tersurat mengenai bagaimana hakikat pendidik yang baik. “Ing ngarso sung tulodo” artinya pendidik harus memberikan atau mejadi teladan bagi peserta didiknya; “ing madya mangun karso”, artinya pendidik harus mampu membangun motivasi, keinginan pada diri peserta didiknya; dan” tut wuri handayani” artinya bahwa sepanjang tidak memberikan dampak negatif pada diri peserta didik,  pendidik harus memberi kebebasan dan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri. Di dalam UU No. 14 Tahun 2005, guru dan dosen juga berlandaskan pada konsep tersebut. Konsep pendidik tersebut juga telah menjadi ikon bangsa Indonesia, karena selalu diajarkan pada calon-calon pendidik di bangku perkuliahan sebagai suatu konsep yang harus dipegang teguh dan dijalankan. Tanpa mengerti konsep tersebut, rasanya belum pantas seseorang dianggap sebagai seorang pendidik sejati. 

B.     Landasan Sosiologi-Budaya
Menurut P.H. Coombs salah satu sumber input dari masyarakat bagi sistem pendidikan nasional yaitu penduduk serta tenaga kerja yang berkualitas (Syaripudin, 2009:40). Tenaga kerja yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai tenaga pendidik termasuk di dalamnya guru dan dosen. Guru dan dosen adalah manusia, adapun manusia dapat dikatakan menjadi manusia hanya melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu, dalam UU No. 14 Tahun 2005 dijelaskan adanya landasan bahwa setiap anggota masyarakat berhak diangkat menjadi guru dan dosen dengan ketentuan kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki. Kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik (guru dan dosen) salah satunya adalah kompetensi sosial. Kompetensi sosial yang dimaksud adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik, rekan sejawat, maupun masyarakat (Djumiran, dkk.  2008: 3-13). Kompetensi tersebut diperlukan untuk membangun citra guru/dosen guna mendapatkan pengakuan dari masyarakat atas profesinya.
Kondisi sosiologi-budaya yang selaras dengan pendidikan digunakan pendidik sebagai landasan untuk menciptakan suasana belajar yang dapat mengaktifkan motivasi dan menciptakan hubungan yang harmonis antara pendidik dan peserta didik. Di dalam proses pendidikan, terdapat proses pembudayaan manusia. Peran pendidik sangat besar dalam proses pengenalan nilai-nilai budaya kepada generasi penerus bangsa. Proses tersebut mengharuskan pendidik mengenal latar belakang budaya setempat yang dijadikan sebagai landasan dalam proses pembelajaran. Jadi, guru/dosen juga berperan dalam proses pembudayaan manusia.

C.    Landasan Politik-Ekonomi
Ekonomi merupakan landasan dalam proses pendidikan agar berjalan dengan lancar (Halim, dkk, 2012:62). Di dalamnya juga terkandung konsep investasi SDM, dalam hal ini pembiayaan ekonomi dilakukan untuk menghasilkan kualitas dan produktivitas kerja. Pada UU No. 14 Tahun 2005 telah dijelaskan bahwa tenaga guru dan dosen sebagai suatu profesi mendapatkan hak berupa gaji dan tunjangan-tunjangannya. Hal tersebut tentunya dilandaskan pada prinsip investasi SDM, bahwa diharapkan melalui gaji dan tunjangan-tunjangan tersebut baik guru/dosen dapat termotivasi untuk meningkatkan kompetensi, kualitas, dan produktivitas kerjanya. Pertimbangan ekonomis itu juga didasarkan pada kemampuan anggaran, sedangkan anggaran sendiri ditentukan melalui kebijakan politik. Kebijakan politik dalam UU No. 14 Tahun 2005 dilaksanakan secara demokratis, diantaranya dalam rangka pengangkatan dan penempatan guru/dosen serta proses sertifikasi, kenaikan pangkat dan gaji dilakukan dengan objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 
Analisis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi

A.    Landasan Historis
Indonesia terlahir sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang luas dan terbagi-bagi atas beberapa suku. Disinilah peran penting perguruan tinggi pada masa awal kemerdekaan yaitu sebagai simbol persatuan bangsa (Basundoro, 2012). Selain itu, dunia perguruan tinggi juga terlibat secara aktif pada setiap momen sejarah yang melibatkan masyarakat luas. Hal tersebut membuat perguruan tinggi di Indonesia semakin memiliki wujud dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Bersatunya masyarakat dan perguruan tinggi kemudian melahirkan Tridharma perguruan tinggi dalam lembaga. UU No. 12 Tahun 2012, menjelaskan bahwa Tridharma merupakan “kewajiban perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat”.
Perguruan tinggi adalah agen perubahan, sejarah telah membuktikan bahwa sebagian besar perubahan sejarah di Indonesia melibatkan civitas akademika. Di dalam UU No. 12 Tahun 2012) civitas akademika merupakan “masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan mahasiswa”. Civitas akademika, baik itu dosen maupun mahasiswa telah mengiringi setiap kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Setiap pelanggaran dalam pelaksanaan kebijakan akan melahirkan kritik keras dan tegas dari civitas akademika sebagai pengawal kebijakan pemerintah.

B.     Landasan Sosiologi-Budaya
Pengkajian dari aspek sosiologi dan budaya menunjukkan adanya hubungan yang erat antara masyarakat dengan perguruan tinggi. Interaksi tersebut terjalin sebagai suatu wujud kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi. Sebaliknya, perguruan tinggi merasa terpacu untuk melakukan pengabdian secara penuh terhadap masyarakat yang terwujud dalam Tridharma perguruan tinggi. Perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip yang berpihak kepada masyarakat, demokratis, tidak diskriminatif, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang berkembang di dalam masyarakat.
Di dalam pembelajaran, perguruan tinggi juga melakukan pengembangan berbagai budaya, pembudayaan dan pemberdayaan generasi penerus bangsa sebagai suatu wujud kepedulian akan keberlangsungan eksistensi manusia beserta nilai-nilai luhur/budaya yang dianutnya. Perguruan tinggi juga mewadahi keberagaman dalam suatu pengetahuan yang sangat penting diketahui oleh masyarakat, oleh karena itu civitas akademika berperan penting dalam proses pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu pengetahuan tersebut ke dalam masyarakat sesuai dengan Tridharma. Pemenuhan kewajiban sesuai dengan Tridharma termasuk di dalamnya penelitian juga berorientasi bagi kemaslahatan masyarakat. Hasil penelitian mampu membawa perubahan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi juga berusaha menciptakan pendidikan yang multikultural di dalam proses pembelajaran dengan tidak membedakan suku, agama, ras, jenis kelamin, kedudukan sosial, maupun tingkat ekonomi peserta didik. Interaksi yang terjadi di dalam proses pembelajaran berlangsung atas dasar tradisi ilmiah, pencarian kebenaran yang sesuai dengan paradigma moral dan budaya akademik. Realitas landasan sosiologi-budaya tersebut terlihat dalam beberapa pasal dalam UU No. 12 Tahun 2012, antara lain pasal 6, pasal, 10, pasal 11 dan pasal 46.

C.    Landasan Politik-Ekonomi
Perguruan tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara politik berada di bawah pengawasan menteri pendidikan dan kebudayaan. Standar pendidikan di perguruan tinggi juga sangat ketat, berbagai bentuk pengawasan dan standarisasi dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga kualitas perguruan tinggi. Hal tersebut secara politis menujukkan bahwa perguruan tinggi merupakan salah satu ujung tombak perubahan bangsa. Oleh karena itu pemerintah memilki berbagai badan yang khusus untuk melakukan pengawasan, kontrol, penjaminan mutu dan standarisasi perguruan tinggi. Di antara badan-badan tersebut antara lain: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya. Didirikannya lembaga-lembaga tersebut menjadi bukti bahwa perguruan tinggi memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan politik bangsa, civitas akademika juga banyak berperan dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan. Peristiwa semangi tahun 1998, merupakan salah satu bukti bahwa kekuatan civitas akademika mampu membawa perubahan pada roda politik bangsa Indonesia. Sejarah politik bangsa tersebut sudah mampu membuktikan bahwa secara politik perguruan tinggi juga turut andil dalam menciptakan agen-agen perubahan. 
Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat seiring dengan era reformasi juga telah membawa perubahan ekonomi bangsa. Berbagai krisis ekonomi telah mampu dilalui oleh beberapa masyarakat, namun ada pula masyarakat yang belum mampu mengatasi krisis ekonomi tersebut. Perguruan tinggi juga menyadari akan keberagaman kemampuan ekonomi masyarakat untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, oleh sebab itu keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi juga menjadi landasan dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Di dalam penyelenggaraan tersebut, tentunya peran serta masyarakat menjadi sangat penting sebagai wujud suatu dukungan. Dukungan tersebut tidak harus berupa materi, namun melalui data keadaan ekonomi yang sesungguhnya sudah mampu memberikan kemudahan bagi perguruan tinggi untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang berkeadilan.


DAFTAR RUJUKAN
  
Basundoro. 2012. Sejarah Pendidikan Tinggi di Indonesia. (Online), http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-42085-Sejarah-SEJARAH%20PENDIDIKAN%20TINGGI%20DI%20INDONESIA.html, diakses 1 November 2013.

Djumiran, Partino, H. R, dan Sudaryana. 2008. Profesi Keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Halim, A, dan Supriyono. 2012. Landasan-Landasan Pendidikan dan Pembelajaran. (Online), http://himnijatim.com/wp-content/uploads/.../LANDIKJARWHITEPAPER.pdf‎, diakses 30 Oktober 2013.

Kaelan. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Syaripudin, Tatang. 2012. Landasan Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan  Islam Kementrian Agama Republik Indonesia.

Posting Komentar untuk "ANALISIS LANDASAN UU NO. 20 TAHUN 2003, UU NO. 14 TAHUN 2005 , DAN UU NO. 12 TAHUN 2012"