Analisis Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
A. Landasan Filosofis
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila. Hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa landasan filosofis pendidikan nasional Indonesia sejalan
dengan landasan filsafat bangsa Indonesia itu sendiri yaitu Pancasila.
Pancasila (dalam Kaelan, 2002: 181) merupakan dasar filsafat negara sekaligus
dasar filsafat hidup bangsa Indonesia. Seluruh aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai pancasila,
termasuk pendidikan. Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila (dalam
Kaelan, 2002: 181-182) yang tergambar di dalam UU No. 20 Tahun 2003 antara lain
adalah.
- Pada
pasal 3, dijelaskan bahwa pendidikan nasional antara lain berfungsi agar
peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hal ini sejalan dengan hakikat
sila pertama Pancasila yaitu kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
- Pada
pasal 4, dijelaskan antara lain bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, hal tersebut sesuai
dengan hakikat sila keempat bahwa suatu keharusan untuk bersifat demokratis,
serta hakikat sila kelima bahwa seluruh warga harus dijamin berdasarkan prinsip
keadilan yang timbul dalam kehidupan sosial.
B. Landasan Psikologis
Landasan psikologi (dalam Syaripudin,
2009:9) merupakan “asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah psikologi”.
Asumsi-asumsi tersebut menggambarkan betapa pentingnya aspek-aspek psikologi
manusia dengan karakteristik dan perkembangannya. Di dalam UU No. 20 Tahun
2003, dapat dijelaskan bahwa sistem pendidikan nasional juga berlandaskan pada
aspek-aspek psikologis. Hal tersebut terlihat dalam pasal-pasal dalam
undang-undang tersebut antara lain pasal 1 ayat 1, 8, dan 14; pasal 3; pasal 5
ayat 2, 4, dan 5; pasal 12 serta pasal 32. Dalam pasal-pasal tersebut, dapat
dirangkum bahwa sistem pendidikan nasional melaksanakan pendidikan dengan
memperhatikan suasana belajar, proses pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik guna mengembangkan kemampuan dan membentuk watak.
Perkembangan peserta didik merupakan dasar bagi penentuan jenjang dan
pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Pendidikan bagi anak usia dini juga
diperhatikan sesuai dengan karakteristik anak pada usia tersebut, sehingga
dapat membantu tumbuh kembang anak. Bagi mereka yang memiliki kelainan fisik,
mental, emosional, intelektual juga menjadi dasar bagi pelaksanaan pendidikan
khusus. Pendidikan khusus tersebut juga mewadahi mereka yang memiliki
kecerdasan dan bakat istimewa yang juga harus diberi penanganan khusus. Sistem
pendidikan nasional juga mendukung pelaksanaan pendidikan sepanjang hayat (life long education) sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan perkembangan manusia sebagai subjek sekaligus objek
pendidikan.
C. Landasan Sosiologi-Budaya
Landasan sosiologi-budaya (dalam
Syaripudin, 2009:150) menjelaskan tentang dasar bagaimana manusia
mempertahankan eksistensinya melalui sosialisasi dan enkulturasi. Pemikiran
tersebut juga diadobsi oleh UU No. 20 Tahun 2003, melalui beberapa pasal di
dalamnya antara lain pasal 1 ayat 16; pasal 4 ayat 1, 3, dan 5; pasal 5 ayat 3;
pasal 54 dan pasal 55 menjelaskan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan
berbasis masyarakat, artinya pendidikan diselenggarakan sesuai dengan kekhasan
agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan
dilaksanakan untuk seluruh komponen masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat
adat yang terpencil juga berhak atas layanan pendidikan. Pendidikan bukan
sekedar transfer ilmu, namun di dalamnya terdapat pula proses pembudayaan
melalui enkulturasi dan proses pemberdayaan peserta didik melalui sosialisasi,
di dalam proses tersebut juga terdapat peran serta masyarakat.
Analisis Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005
tentang Guru dan Dosen
A. Landasan Historis
Sejarah pendidikan di Indonesia telah
memberikan peninggalan yang berharga bagi bangsanya melalui pengajaran konsep
pendidik yang baik. Konsep tersebut dikenalkan oleh bapak pendidikan Indonesia
yaitu Ki Hajar Dewantara. Dalam konsep tersebut terdapat nilai-nilai yang
tersirat dan tersurat mengenai bagaimana hakikat pendidik yang baik. “Ing
ngarso sung tulodo” artinya pendidik harus memberikan atau mejadi teladan bagi
peserta didiknya; “ing madya mangun karso”, artinya pendidik harus mampu
membangun motivasi, keinginan pada diri peserta didiknya; dan” tut wuri
handayani” artinya bahwa sepanjang tidak memberikan dampak negatif pada diri
peserta didik, pendidik harus memberi
kebebasan dan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri. Di dalam
UU No. 14 Tahun 2005, guru dan dosen juga berlandaskan pada konsep tersebut.
Konsep pendidik tersebut juga telah menjadi ikon bangsa Indonesia, karena
selalu diajarkan pada calon-calon pendidik di bangku perkuliahan sebagai suatu
konsep yang harus dipegang teguh dan dijalankan. Tanpa mengerti konsep
tersebut, rasanya belum pantas seseorang dianggap sebagai seorang pendidik
sejati.
B. Landasan Sosiologi-Budaya
Menurut P.H. Coombs salah satu sumber
input dari masyarakat bagi sistem pendidikan nasional yaitu penduduk serta
tenaga kerja yang berkualitas (Syaripudin, 2009:40). Tenaga kerja yang dimaksud
dapat dijelaskan sebagai tenaga pendidik termasuk di dalamnya guru dan dosen.
Guru dan dosen adalah manusia, adapun manusia dapat dikatakan menjadi manusia
hanya melalui proses pendidikan. Oleh sebab itu, dalam UU No. 14 Tahun 2005
dijelaskan adanya landasan bahwa setiap anggota masyarakat berhak diangkat
menjadi guru dan dosen dengan ketentuan kualifikasi akademik, kompetensi, dan
pengalaman yang dimiliki. Kompetensi yang harus dimiliki tenaga pendidik (guru
dan dosen) salah satunya adalah kompetensi sosial. Kompetensi sosial yang
dimaksud adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta
didik, rekan sejawat, maupun masyarakat (Djumiran, dkk. 2008: 3-13). Kompetensi tersebut diperlukan
untuk membangun citra guru/dosen guna mendapatkan pengakuan dari masyarakat
atas profesinya.
Kondisi sosiologi-budaya yang selaras
dengan pendidikan digunakan pendidik sebagai landasan untuk menciptakan suasana
belajar yang dapat mengaktifkan motivasi dan menciptakan hubungan yang harmonis
antara pendidik dan peserta didik. Di dalam proses pendidikan, terdapat proses
pembudayaan manusia. Peran pendidik sangat besar dalam proses pengenalan
nilai-nilai budaya kepada generasi penerus bangsa. Proses tersebut mengharuskan
pendidik mengenal latar belakang budaya setempat yang dijadikan sebagai
landasan dalam proses pembelajaran. Jadi, guru/dosen juga berperan dalam proses
pembudayaan manusia.
C. Landasan Politik-Ekonomi
Ekonomi merupakan landasan dalam
proses pendidikan agar berjalan dengan lancar (Halim, dkk, 2012:62). Di
dalamnya juga terkandung konsep investasi SDM, dalam hal ini pembiayaan ekonomi
dilakukan untuk menghasilkan kualitas dan produktivitas kerja. Pada UU No. 14
Tahun 2005 telah dijelaskan bahwa tenaga guru dan dosen sebagai suatu profesi
mendapatkan hak berupa gaji dan tunjangan-tunjangannya. Hal tersebut tentunya
dilandaskan pada prinsip investasi SDM, bahwa diharapkan melalui gaji dan
tunjangan-tunjangan tersebut baik guru/dosen dapat termotivasi untuk
meningkatkan kompetensi, kualitas, dan produktivitas kerjanya. Pertimbangan
ekonomis itu juga didasarkan pada kemampuan anggaran, sedangkan anggaran
sendiri ditentukan melalui kebijakan politik. Kebijakan politik dalam UU No. 14
Tahun 2005 dilaksanakan secara demokratis, diantaranya dalam rangka
pengangkatan dan penempatan guru/dosen serta proses sertifikasi, kenaikan
pangkat dan gaji dilakukan dengan objektif dan transparan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Analisis Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012
tentang Pendidikan Tinggi
A. Landasan Historis
Indonesia terlahir sebagai negara
kepulauan dengan wilayah yang luas dan terbagi-bagi atas beberapa suku.
Disinilah peran penting perguruan tinggi pada masa awal kemerdekaan yaitu
sebagai simbol persatuan bangsa (Basundoro, 2012). Selain itu, dunia perguruan
tinggi juga terlibat secara aktif pada setiap momen sejarah yang melibatkan
masyarakat luas. Hal tersebut membuat perguruan tinggi di Indonesia semakin
memiliki wujud dan menjadi lebih dikenal oleh masyarakat. Bersatunya masyarakat
dan perguruan tinggi kemudian melahirkan Tridharma perguruan tinggi dalam
lembaga. UU No. 12 Tahun 2012, menjelaskan bahwa Tridharma merupakan “kewajiban
perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
masyarakat”.
Perguruan tinggi adalah agen
perubahan, sejarah telah membuktikan bahwa sebagian besar perubahan sejarah di
Indonesia melibatkan civitas akademika. Di dalam UU No. 12 Tahun 2012) civitas
akademika merupakan “masyarakat akademik yang terdiri atas dosen dan
mahasiswa”. Civitas akademika, baik itu dosen maupun mahasiswa telah mengiringi
setiap kebijakan pemerintah dari masa ke masa. Setiap pelanggaran dalam
pelaksanaan kebijakan akan melahirkan kritik keras dan tegas dari civitas
akademika sebagai pengawal kebijakan pemerintah.
B. Landasan Sosiologi-Budaya
Pengkajian dari aspek sosiologi dan
budaya menunjukkan adanya hubungan yang erat antara masyarakat dengan perguruan
tinggi. Interaksi tersebut terjalin sebagai suatu wujud kepercayaan masyarakat
terhadap perguruan tinggi. Sebaliknya, perguruan tinggi merasa terpacu untuk
melakukan pengabdian secara penuh terhadap masyarakat yang terwujud dalam
Tridharma perguruan tinggi. Perguruan tinggi diselenggarakan dengan prinsip
yang berpihak kepada masyarakat, demokratis, tidak diskriminatif, dan
berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang berkembang di dalam
masyarakat.
Di dalam pembelajaran, perguruan
tinggi juga melakukan pengembangan berbagai budaya, pembudayaan dan
pemberdayaan generasi penerus bangsa sebagai suatu wujud kepedulian akan
keberlangsungan eksistensi manusia beserta nilai-nilai luhur/budaya yang
dianutnya. Perguruan tinggi juga mewadahi keberagaman dalam suatu pengetahuan
yang sangat penting diketahui oleh masyarakat, oleh karena itu civitas
akademika berperan penting dalam proses pengembangan dan penyebarluasan
ilmu-ilmu pengetahuan tersebut ke dalam masyarakat sesuai dengan Tridharma.
Pemenuhan kewajiban sesuai dengan Tridharma termasuk di dalamnya penelitian
juga berorientasi bagi kemaslahatan masyarakat. Hasil penelitian mampu membawa
perubahan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berbasis ilmu
pengetahuan. Perguruan tinggi juga berusaha menciptakan pendidikan yang
multikultural di dalam proses pembelajaran dengan tidak membedakan suku, agama,
ras, jenis kelamin, kedudukan sosial, maupun tingkat ekonomi peserta didik.
Interaksi yang terjadi di dalam proses pembelajaran berlangsung atas dasar
tradisi ilmiah, pencarian kebenaran yang sesuai dengan paradigma moral dan
budaya akademik. Realitas landasan sosiologi-budaya tersebut terlihat dalam
beberapa pasal dalam UU No. 12 Tahun 2012, antara lain pasal 6, pasal, 10,
pasal 11 dan pasal 46.
C. Landasan Politik-Ekonomi
Perguruan tinggi merupakan salah satu
lembaga pendidikan yang secara politik berada di bawah pengawasan menteri
pendidikan dan kebudayaan. Standar pendidikan di perguruan tinggi juga sangat
ketat, berbagai bentuk pengawasan dan standarisasi dilakukan oleh pemerintah
untuk menjaga kualitas perguruan tinggi. Hal tersebut secara politis menujukkan
bahwa perguruan tinggi merupakan salah satu ujung tombak perubahan bangsa. Oleh
karena itu pemerintah memilki berbagai badan yang khusus untuk melakukan
pengawasan, kontrol, penjaminan mutu dan standarisasi perguruan tinggi. Di
antara badan-badan tersebut antara lain: Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi, Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi,
dan sebagainya. Didirikannya lembaga-lembaga tersebut menjadi bukti bahwa
perguruan tinggi memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan politik bangsa,
civitas akademika juga banyak berperan dalam melakukan kontrol terhadap
pemerintahan. Peristiwa semangi tahun 1998, merupakan salah satu bukti bahwa
kekuatan civitas akademika mampu membawa perubahan pada roda politik bangsa
Indonesia. Sejarah politik bangsa tersebut sudah mampu membuktikan bahwa secara
politik perguruan tinggi juga turut andil dalam menciptakan agen-agen
perubahan.
Perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat seiring dengan era reformasi juga telah membawa perubahan ekonomi
bangsa. Berbagai krisis ekonomi telah mampu dilalui oleh beberapa masyarakat,
namun ada pula masyarakat yang belum mampu mengatasi krisis ekonomi tersebut. Perguruan
tinggi juga menyadari akan keberagaman kemampuan ekonomi masyarakat untuk
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, oleh sebab itu keberpihakan pada
kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi juga menjadi landasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi. Di dalam penyelenggaraan
tersebut, tentunya peran serta masyarakat menjadi sangat penting sebagai wujud
suatu dukungan. Dukungan tersebut tidak harus berupa materi, namun melalui data
keadaan ekonomi yang sesungguhnya sudah mampu memberikan kemudahan bagi
perguruan tinggi untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang berkeadilan.
DAFTAR RUJUKAN
Basundoro. 2012. Sejarah Pendidikan Tinggi di Indonesia.
(Online), http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel_detail-42085-Sejarah-SEJARAH%20PENDIDIKAN%20TINGGI%20DI%20INDONESIA.html,
diakses 1 November 2013.
Djumiran, Partino,
H. R, dan Sudaryana. 2008. Profesi
Keguruan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Halim, A, dan
Supriyono. 2012. Landasan-Landasan
Pendidikan dan Pembelajaran. (Online), http://himnijatim.com/wp-content/uploads/.../LANDIKJARWHITEPAPER.pdf,
diakses 30 Oktober 2013.
Kaelan. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Paradigma.
Syaripudin, Tatang.
2012. Landasan Pendidikan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementrian Agama Republik Indonesia.
Posting Komentar untuk "ANALISIS LANDASAN UU NO. 20 TAHUN 2003, UU NO. 14 TAHUN 2005 , DAN UU NO. 12 TAHUN 2012"