Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

RELEVANSI PENGGUNAAN INSTRUMEN PENILAIAN (ASSESSMENT) DITINJAU DARI KERANGKA DASAR PEMBELAJARAN


RELEVANSI PENGGUNAAN INSTRUMEN PENILAIAN (ASSESSMENT) DITINJAU DARI KERANGKA DASAR PEMBELAJARAN


Penilaian (assessment) adalah bagian dari kegiatan evaluasi pendidikan yang penting sebagai tolak ukur keberhasilan proses dan produk pembelajaran. Perlu kita pahami bersama, bahwa dalam kegiatan evaluasi. Kita mengenal tiga istilah, yang tentunya memiliki kapasitas yang berbeda di dalam implementasinya. Pertama, pengukuran (measurement) yaitu proses yang dilakukan secara sistematis untuk mengukur suatu subyek tertentu dengan alat ukur yang terstandar. Contohnya, ketika kita hendak menilai kemampuan afektif siswa, maka kita gunakan instrumen lembar observasi afektif yang telah tervalidasi.

Setelah melakukan suatu pengukuran, maka langkah selanjutnya adalah penilaian (assessment). Penilaian sendiri merupakan suatu proses menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran yang telah dilakukan. Hasil pengukuran tersebut akan ditafsirkan dalam bentuk nilai. Kemudian proses tersebut akan menjadi suatu kegiatan evaluasi jika seorang guru membuat suatu keputusan tentang nilai berdasarkan hasil pengukuran. Keputusan yang dimaksud adalah pemberian makna atau penetapan kualitas hasil melalui proses membandingkan dengan kriteria tertentu.

Jika kita berbicara tentang penilaian (assessment) maka di dalam prosesnya terdapat proses pengukuran dan penilaian itu sendiri. Namun, orang lebih mengenalnya sebagai penilaian. Seperti kita ketahui bersama, bahwa penilaian adalah hal yang paling krusial di dalam dunia pendidikan. Bahkan Albert Einstein menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan pandai, tidak ada yang bodoh. Namun karena penilaian (assessment) yang tidak tepat, mereka menjadi tampak bodoh.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa bisa saja seorang siswa menjadi bodoh karena dia harus diukur pada sesuatu yang bukan merupakan bakat dan minatnya. Contonya, Ani berjiwa seni tinggi, dia gemar menyanyi, menari,dan juga melukis. Namun, kurikulum mengharuskan dia belajar Matematika, dia harus mendapatkan nilai minimal 70 supaya lulus. Kenyataan hasil penilaian, nilai Ani hanya 50. Dari kasus tersebut, Ani dianggap bodoh oleh gurunya. Seperti itulah realitas pendidikan di negeri kita. Sejujurnya Ani adalah orang yang pandai seni, namun dia dianggap bodoh hanya karena penilaian Matematika.

Sudah selayaknya kasus Ani di atas menjadi gambaran kecil realitas lemahnya penilaian (assessment) yang dapat berdampak bagi segala aspek perkembangan anak. Kasus lain dapat terjadi pada tidak relevansinya penggunaan bentuk instrumen penilaian (assessment) dengan apa yang hendak diukur di dalam konteks pembelajaran itu sendiri. Contoh paling konyol adalah guru yang hendak mengukur afektif siswa menggunakan instrumen tes tulis. Atau mungkin ingin mengukur psikomotor siswa dengan instrumen angket tertutup. Tentunya kedua hal tersebut dianggap tidak relevan.

Oleh sebab itu, perlu kita kaji lebih dalam tentang relevansi penggunaan bentuk penilaian (assessment) ditinjau dari kerangka dasar pembelajaran. Berikut kita ulas hasil penelitian dalam bentuk artikel yang di dalamnya menampakkan instrumen penilaian yang digunakan untuk mengukur kemampuan tertentu. Kariesma, dkk (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Circ Bermedia Powerpoint Terhadap Keterampilan Membaca Pada Bahasa Indonesia Kelas IV SD Gugus I Kuta Badung”. Penelitian ini memiliki variabel terikat berupa keterampilan membaca. Dalam penelitian ini juga dipaparkan bahwa instrumen yang digunakan untuk mengukur keterampilan membaca adalah tes objektif dalam bentuk pilihan ganda.

Seperti kita ketahui bahwa membaca adalah kegiatan yang melibatkan dimensi proses kognitif seseorang. Maka di dalamnya tidak cukup sekedar melafalkan bahan bacaan, namun lebih jauh ada proses pemahaman informasi yang terkandung di dalam tulisan. Merujuk pada kerangka dasar pembelajaran, maka kita dapat berpedoman pada Taxonomy Bloom edisi revisi yang menunjukkan bahwa keterampilan membaca dapat terjadi pada level Kognitif 1, Kognitif 2, dan Kognitif 3. 

Oleh sebab itu, jika melihat instrumen yang digunakan pada penelitian Kariesma, dkk., maka sudah selayaknya keterampilan membaca tersebut dapat diukur dengan instrumen yang lebih mengukur apa yang seharusnya diukur, contohnya menggunakan tes lisan. Sehingga penilaian (assessment) tidak hanya sekedar memenuhi nilai, namun mampu mengulik taraf keterampilan membaca siswa lebih dalam.

Sejatinya penilaian (assessment) harus mampu mengukur apa yang siswa pelajari beserta bagaimana mereka mempelajarinya. Di dalam proses penilaian (assessment) itu sendiri juga terjadi keberpihakan terhadap kebutuhan siswa akan bakat dan minatnya. Sehingga diharapkan tidak ada lagi siswa yang bodoh, yang ada adalah siswa yang pandai sesuai bakat dan minatnya. Dengan demikian, peningkatan kualitas pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa dari masa ke masa sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

Posting Komentar untuk "RELEVANSI PENGGUNAAN INSTRUMEN PENILAIAN (ASSESSMENT) DITINJAU DARI KERANGKA DASAR PEMBELAJARAN"