Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Antara Sikap dan Perilaku Tidak Jujur dengan Pendidikan Karakter Tradisional

Hubungan Antara Sikap dan Perilaku Tidak Jujur dengan Pendidikan Karakter Tradisional 


Ketika kita mendengar tentang pendidikan karakter, maka sudah pasti kita menganggap bahwa bentuk pendidikan tersebut akan mengantarkan anak kepada sikap dan perilaku yang mencerminkan karakter yang baik. Selama ini pendidikan karakter di sekolah dasar (SD) selalu diajarkan melalui pembiasaan. Bahkan beberapa instansi ada yang mengajarkan secara tertulis di dalam peraturan sekolah di mana bagi yang melanggar mungkin akan mendapatkan sanksi tertentu. Lalu apakah konsep pendidikan karakter tersebut sudah tepat? Apakah benar melalui pengajaran perilaku yang baik anak akan otomatis mengikuti? Mari kita renungkan sejenak! 

Untuk lebih memahami bagaimana secara umum pendidikan karakter yang diajarkan dari proses pembiasaan, akan kita sajikan melalui ilustrasi berikut ini. Misalkan Anda adalah seorang guru, Anda hendak mengajarkan sikap dan perilaku baik tentang peduli lingkungan sekolah. Sesuai dengan apa yang terjadi secara umum di sekolah-sekolah dasar maka sikap dan perilaku tersebut akan diajarkan melalui proses pembiasaan secara berkelanjutan di sekolah melalui peraturan sekolah atau peraturan kelas. Ya, kita ajarkan terlebih dahulu misalkan bahwa membuang sampah harus pada tempat sampah. 

Jika kelas terlihat kotor maka tugas yang piket harus membersihkan dan sebagainya. Melalui aturan-aturan di kelas dan di sekolah maka anak diharapkan akan patuh dan mentaati peraturan. Jika melanggar maka akan diberikan sanksi. Karena rasa takut terhadap peraturan maka secara otomatis siswa akan mentaati untuk membuang sampah pada tempatnya, untuk membersihkan kelas jika kelas terlihat kotor dan seterusnya. Lalu di mana letak karakter anak itu muncul dalam proses pembiasaan itu? Apakah benar karakter bisa diajarkan? Bukankah anak bukan sebuah robot? Setiap anak memiliki karakteristik yang unik yang tidak bisa disamakan. Mari kita renungkan kembali! 

Ketika anak diajarkan karakter yang baik dengan pembiasaan. Ada dua konsekuensi yang akan muncul yaitu: (1) anak akan menjadi terbiasa berkarakter baik atau (2) anak akan terbiasa tidak jujur (berbohong). Untuk menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, mari kita kembali ke ilustrasi cerita. Ketika anak dibiasakan untuk peduli terhadap lingkungan sekolah melalui pembiasaan dengan aturan dan bimbingan guru, sebagian besar atau hampir semua anak akan berkarakter sesuai dengan harapan ketika di sekolah. Di sisi lain ada yang namanya sanksi bagi yang melanggar, tentunya akan membuat anak takut untuk bersikap atau berperilaku yang tidak sesuai. 

Apakah hal tersebut menandakan bahwa anak sudah memiliki karakter yang baik? Belum tentu! Ketika anak diajarkan karakter secara langsung melalui pembiasaan, dia cenderung akan mengikuti saat ada pengawasan orang yang lebih dewasa/guru ketika di sekolah. Namun, hal yang berbeda akan ditunjukkan oleh sebagian anak ketika di rumah atau di lingkungan masyarakat dia tetap membuang sampah sembarangan dan ketika rumahnya sendiri kotor tidak ada kesadaran untuk membersihkan. Lalu di mana letak karakter baik anak? Anak cenderung akan berkarakter baik hanya ketika dia dibawah pengawasan orang-orang yang memberikan aturan atau pembiasaan. Lalu apakah hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pendidikan karakter yang baik? Mari kita renungkan! 

Dalam teori moral, Piaget menyatakan bahwa pendidikan seharusnya fokus pada bagaimana mendorong para siswa mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan-keputusan yang baik. Begitu juga Kohlberg menegaskan bahwa pendidikan karakter yang tradisional (pembelajaran/pembiasaan karakter) tidak mampu membimbing siswa untuk memahami nilai-nilai kebaikan yang benar-benar harus dianut. Oleh sebab itu, Kohlberg dalam teorinya mengajarkan pendidikan karakter melalui pendekatakan klasifikasi nilai di mana dalam suatu pendidikan karakter yang baik, apapun yang dilakukan oleh anak penilaian bertolak pada asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar. Semua sikap dan perilaku jauh dilihat pada dasar nilai diri anak yang digunakan sebagai dasar berpikir dan bertindak. 

Penjelasan dalam teori moral Piaget dan Kohlberg yang diaplikasikan di dalam pendidikan karakter tersebut dapat menegaskan bahwa karakter baik itu tidak tepat jika diajarkan. Semua tergantung pada nilai diri anak. Jika kita kembalikan pada cerita ilustrasi tentang peduli lingkungan sekolah maka guru sebagai pembimbing siswa di sekolah seharusnya tidak mengajarkan sikap dan perilaku baik tentang membuang sampah di tempat sampah, membersihkan kelas sesuai piket kelas, dan sebagainya. Namun jauh lebih baik jika pendidikan karakter diajarkan secara tidak langsung melalui sebuah masalah/kasus yang harus dipecahkan siswa. Misalnya dalam hal ini guru secara sengaja membuat kelas terlihat kotor penuh dengan sampah yang berserakan, pada saat siswa masuk ke kelas maka siswa akan menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap fenomena kelas yang kotor tersebut. Disitulah karakter anak akan terlihat secara nyata, guru cukup diam dan mengobservasi respon mereka sebagai bentuk asesmen.

Di dalam suasana kelas yang seperti itu maka beberapa respon yang muncul akan bervariasi, ada siswa yang secara spontan mengambil sapu dan membersihkan sampah, ada siswa yang memungut sampah-sampah dengan tangan, ada siswa yang hanya diam melihat, dan sebagainya. Disitulah guru betul-betul dapat melihat karakter siswa yang sebenarnya. Setelah kelas bersih, maka guru dapat mengajak siswa merefleksikan apa yang terjadi. Sebagai penguatan karakter baik maka guru menggunakan siswa yang secara spontan turut serta membersihkan kelas sebagai teladan siswa yang berkarakter baik. Demikianlah salah satu contoh pendidikan karakter yang tanpa diajarkan secara langsung namun cukup melalui proses pemecahan masalah oleh siswa sendiri. 

Selain dianggap tidak tepat, pendidikan karakter tradisional yang diajarkan secara langsung melalui pembiasaan juga sangat rawan menyebabkan siswa menjadi pribadi yang tidak jujur. Mengapa demikian? Ketika guru mengajarkan untuk membuang sampah di tempat sampah, di sekolah siswa akan membuang sampah di tempat sampah. Namun apa yang akan terjadi jika tidak ada guru atau saat siswa di rumah, apakah siswa tetap membuang sampah di tempat sampah? Beberapa siswa akan menunjukkan respon bahwa diluar sekolah ia tetap membuang sampah sembarangan.

Bahkan beberapa tetap membuang sampah sembarangan di sekolah ketika di luar pengawasan guru atau orang yang lebih dewasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa tidak berperilaku jujur. Respon siswa terhadap apa yang diajarkan guru untuk membuang sampah di tempat sampah hanya diikuti sebagai bentuk ketaatan terhadap aturan bukan karena kesadaran pada diri siswa. Perlu ditekankan bahwa pendidikan karakter akan berhasil dengan baik ketika siswa memiliki kesadaran diri yang tinggi terhadap sikap dan perilaku yang baik. Karakter tidak dapat dibangun dari rasa takut terhadap suatu aturan tetapi harus dibangun dengan rasa cinta terhadap suatu nilai kebaikan.

Posting Komentar untuk "Hubungan Antara Sikap dan Perilaku Tidak Jujur dengan Pendidikan Karakter Tradisional "