SASTRA BEST SELLER. APA BENAR LARIS DAN BERKUALITAS?
SASTRA BEST SELLER. APA BENAR
LARIS DAN BERKUALITAS?
Indonesia memiliki kemampuan yang berpotensi
dapat membuat negara ini menjadi yang
paling maju. Latah. Mengapa saya mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara
paling maju jika fenomena “Latah” ini diterapkan dengan tepat? Andaikan saja
sikap-sikap baik masyarakat Jepang yang selalu disiplin tepat waktu bisa
dilatahi dengan baik, tentu saja akan membuat masyarakat Indonesia dipandang
dunia. Andaikan saja keteguhan masyarakat Amerika Serikat bisa pula dilatahi,
jangan salahkan saya jika nantinya negara ini menjadi sebesar Amerika.
Tentu masih diingat bagaimana wajah
etalase toko buku di Indonesia berubah ketika Laskar Pelangi terbit. Saat itu,
semua penerbit dan penulis seolah terseret fenomena ini dan akhirnya ikut
menerbitkan novel serupa. Lalu yang tidak kalah hebohnya, novel Ayat-ayat Cinta
karya Habiburrahman yang ikut pula membuat fenomena ini semakin tampak.
Apakah latah seperti ini baik? Ataukah
hanya sebuah tendangan spekulasi yang dilakukan oleh penerbit yang berisi harapan
agar novel yang mereka terbitkan bisa kecipratan kesuksesan para pioner
sebelumnya? Berdasarkan pengamatan saya, tidak ada yang bisa melebihi
kesuksesan para pioner tadi. Mungkin hal ini juga bisa dijadikan bukti bahwa
karya yang orisinil-lah yang pantas untuk dihargai. Apakah ada novel sejenis
Trilogi Laskar Pelangi yang diangkat ke layar lebar? Walaupun saya tidaklah
seorang Movie Maniac, saya belum
pernah mendengarnya. Apakah ada novel sejenis Ayat-ayat Cinta yang diangkat ke
layar lebar dan akhirnya mendapat kesuksesan yang sama besar dengan novelnya?
Silahkan jawab dan isi sendiri. Tentu saja pendapat saya ini sangat subyektif
dan Anda tidak akan saya paksa untuk menerimanya.
Lalu, apa hubungannya fenomena latah
di atas dengan sastra Best Seller?
Harus disadari bahwa ternyata fenomena latah ini juga terjadi pada karya-karya
seperti ini. Namun, fenomena sastra Best
Seller dengan fenomena latah di atas memiliki sedikit perbedaan. Fenomena
latah di atas memiliki seorang pioner yang mungkin bukan pertama kali, tapi
kebetulan yang paling bisa diingat karena kesuksesan mereka. Sedangkan sastra Best Seller tidak memiliki hal ini.
Siapa yang pertama kali menjual sastra paling banyak sehingga bisa dikatakan Best Seller? Untuk menjawab hal ini
tentu dibutuhkan sebuah penelitian yang panjang.
Sebelum
melangkah lebih jauh, akan saya berikan definisi dari sastra Best Seller. Satra Best Seller adalah nama yang saya berikan kepada semua karya sastra
yang memilik kualitas yang tinggi sehingga memiliki angka penjualan yang
fenomenal dan pantas untuk mendapat tempelan bertuliskan “Best Seller” di
sampulnya. Tempelan seperti ini ternyata dapat memberikan sugesti –paling tidak
pada saya sendiri– untuk membaca buku tersebut.
Ketika
kita melihat sebuah barang atau apapun itu yang memiliki cap ”Best Seller”,
pikiran kita secara tidak sadar akan membayangkan sebuah maha karya fenomenal.
Maha karya yang dibuat dengan kualitas tinggi. Jika sebuah cokelat ditempeli
cap “Best Seller”, akan terbayang di pikiran kita bahwa cokelat tersebut dibuat
dengan berbagai bahan berkualitas premium.
Kualitas yang tinggi –dan juga harga yang pantas– akan membuat orang akan
banyak membelinya. Karena banyak orang yang membelinya, maka sang penjual
melabelinya “Best Seller”.
Begitu
pula yang terjadi ketika kita melihat karya sastra berstempel “Best Seller” di
sampulnya. Kita akan membayangkan sebuah karya sastra yang diramu dengan bahasa
yang indah dan seolah membuai kita untuk membacanya terus-menerus. Kita akan
mengkhayalkan sebuah tulisan dengan tema yang mungkin tidak biasa, yang nyeleneh, yang unik dan yang membahas
sisi lain kehidupan. Kita akan memikirkan sebuah karya sastra yang memiliki
alur menakjubkan yang membuat kita betah untuk menempelkan mata kita pada
tiap-tiap halamannya.
BACA JUGA: MENARIKNYA MEMBACA NOVEL GRAFIS: JURUS JITU BAGI YANG SUKA MALAS BACA NOVEL
Semua bumbu-bumbu ini terangkum
menjadi satu sehingga menjadikan sebuah karya sastra yang fenomenal. Fenomenalitas
ini akhirnya membuat para penikmat untuk membelinya. Pembeli karya ini memiliki
jumlah yang fantastis sehingga angka penjualan meningkat yang pada akhirnya penjual
melabeli karya sastra ini dengan sebutan “Best Seller”. Agar lebih mudah
dikenali, tidak lupa pula tempelan “Best Seller” dicetak dengan tinta emas di
bagian sampul depan dan belakang.
Tidak
jarang tempelan tadi dilengkapi dengan jumlah penjualan buku tersebut. Sering
ditemukan pula bahwa selain tempelan “Best Seller” ada pula tulisan “Terjual
lebih dari 100.000 copy dalam waktu satu minggu!”. Atau ada pula yang disisipi
sebuah pendapat pendek tentang buku tersebut dari para pakar dan orang
terkenal, sehingga menghasilkan sebuah persepsi bahwa karya sastra tersebut
pantas untuk menyandang predikat “Best Seller”.
Bermain-main
dengan Label Best Seller
Sebuah buku berlabel “Best
Seller” belum tentu bisa dikatakan laris manis. Rating yang tinggi bisa saja
dimanipulasi bahkan oleh penulis itu sendiri maupun penerbit. Kegiatan seperti
ini biasa disebut Best-Seller Manipulation
–mengutip istilah yang diberikan The Guardian perihal manipulasi yang
dapat dilakukan dengan mudah di Amazon.com–.
Sebuah cara memanipulasi buku ke dalam
daftar best seller salah
satunya bisa dilakukan penulis itu sendiri. Penulis dapat membeli
sendiri bukunya sebanyak yang diperlukan untuk membuatnya seolah menjadi buku Best Seller. Tempat pembeliannya pun
tidak bisa sembarangan. Pembelian harus dilakukan di toko buku yang memiliki
nama besar. Di Indonesia, toko Gramedia adalah salah satunya. Selain sebagai
toko buku besar di Indonesia, Gramedia juga memiliki Best Seller List yang dikeluarkan untuk membuat daftar buku apa
saja yang bisa digolongkan terbaik dalam penjualan. Pembelian di tempat seperti
ini akan sangat strategis untuk mendongkrak penjualan. Untuk itu, Anda dapat
menyuruh beberapa orang menggunakan uang Anda sendiri untuk membeli buku-buku
hasil karya Anda. Jika Gramedia mencatat penjualan Anda dalam satu minggu bisa
mencapai 50 eksemplar dan berturut-turut terjadi selama sebulan, dapat
dipastikan buku Anda akan berpindah ke rak Best
Seller. Lalu, tersebarlah berita bahwa buku Anda adalah buku laris maka
terjadi permintaan buku tersebut di Gramedia lainnya.
Di era digital saat ini, manipulasi
akan lebih mudah untuk dilakukan, terutama di situs jual beli online. Situs
Amazon.com adalah salah satu situs jual beli yang sangat digemari. Situs ini
memiliki sebuah fitur dimana para pengunjungnya bisa dengan mudah memberikan
rating pada sebuah item yang dipajang di situs tersebut. Salah satu item yang
dipajang adalah buku maupun karya sastra. Anda bisa saja meminjam jasa para
peretas untuk membuat sebuah buku seolah Best
Seller dengan cara memberikan rating yang tinggi pada buku tersebut. Jika sebuah buku ini memiliki rating yang
tinggi maka bisa dipastikan buku tersebut akan digolongkan ke dalam Best Seller.
Kenyataan di Indonesia bisa lebih
parah dan saya sendiri pernah mengalaminya. Perhatikanlah pada buku Best Seller yang tidak Anda kenal
penerbitnya. Kemudian lihat di bagian belakang sampul dalamnya. Jika buku
tersebut hanya pernah mengalami cetakan pertama, namun di sampul depan sudah
terpampang tulisan “Best Seller” maka dipastikan buku tersebut adalah buku Best Seller abal-abal.
Masalahnya
Adalah Kita Terbuai dengan Label “Best
Seller”
Kita tentu masih ingat bagaimana
perseteruan Andrea Hirata dengan seorang Bloger Indonesia bernama Damar
Juniarto. Lewat tulisannya yang dimuat oleh Kompasiana.com tertanggal 13
Februari 2013, Damar mempertanyakan label “International Best Seller” yang
didapat buku Andrea Hirata. Menurut Damar, penetapan “International Best
Seller” novel karya Andrea Hirata ini tidak jelas. Artinya, bahwa dasar
penetapan ini tidak memiliki pondasi yang kuat. Dari sini kita bisa
menyimpulkan ternyata sebuah kalimat yang tertempel pada sampul buku ternyata
bisa berdampak begitu besar −pada
kasus di atas, sang bloger akhirnya dilaporkan ke pihak berwenang karena
dianggap menyebarkan ketidakbenaran−.
Jika diamati lebih seksama. Saat
ini, fenomena label “Best Seller” sudah banyak muncul dalam dunia perbukuan di
Indonesia. Tanpa adanya pertimbangan yang jelas, para penerbit dengan sengaja
mencantumkan label “Best Seller” pada buku terbitan mereka dengan harapan bisa
mendongkrak penjualan buku tersebut di pasaran. Hal ini tentu salah karena
termasuk dalam perbuatan menipu dengan mencantumkan informasi yang tidak benar
kepada konsumen.
Para konsumen pun terbuai dengan label ini. Para konsumen
yang tidak cermat bisa saja membeli buku tersebut tanpa melihat lebih mendalam
isi buku tersebut. Akhirnya, mereka hanya bisa kecewa karena buku atau karya
sastra yang dibeli tersebut ternyata tidak mencerminkan sebuah tulisan yang
patut untuk dilabeli “Best Seller”.
Kita bisa mengecek bagaimana kelatahan ini muncul di dunia
perbukuan Indonesia. Kita bisa menghitung berapa banyak buku yang bertema
seperti Laskar Pelangi yang mencantumkan label “Best Seller” tanpa pertimbangan
yang jelas. Berapa banyak novel bertema seperti Ayat-ayat Cinta yang beredar di
toko buku dengan label “Best Seller” yang entah didapat dari siapa. Hal ini
tentu sangat memprihatinkan. Selain dapat dikategorikan sebagai penipuan, para
penerbit di Indonesia juga bisa dicap sebagai institusi yang tidak profesional.
Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena mereka hanya asal menempelkan label
“Best Seller” tanpa memerhatikan angka penjualan dan secara tidak langsung
tanpa memerhatikan kualitas buku tersebut.
Baca Juga Melihat Lebih Dekat Gaya Penulisan Ernest Hemingway
Efek tersebut bisa berantai. Banjir buku “Best Seller” palsu
ini akhirnya akan membuatnya bisa disejajarkan dengan buku-buku “Best Seller”
yang asli. Padahal belum tentu isi di dalamnya memiliki kualitas yang sama
baiknya dengan buku Best Seller asli.
Dan kembali ke dampak final tadi adalah masyarakat tidak mendapatkan apa yang
seharusnya didapat dari sebuah buku Best
Seller.
Lalu, Bagaimana Kriteria Sastra Best Seller
Ada banyak standar yang
digunakan untuk menentukan kriteria sebuah karya bisa dikatakan Best Seller. Kriteria ini pun akan
berbeda pada setiap penerbit. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, misalnya, menentukan kriteria buku Best Seller adalah berhasil
cetak ulang dalam waktu tiga bulan sejak terbit pertama kali. Ini pun sulit
diukur secara konsisten karena tiap judul punya jumlah cetakan yang berbeda.
Sementara itu sebuah buku dikategorikan Best
Seller oleh Mizan jika
terjual lebih dari seribu eksemplar per bulan. Seiring dengan fenomena buku
tipis tema gokil dari para blogger dan novel horor yang mampu menembus 5.000
eksemplar per judulnya, sepertinya standar ini akan segera berubah. Standar ini tentu berbeda dengan standar
yang dilakukan, misalnya New York Times.
Karya Best Seller menurut harian ini
adalah karya yang dalam catatan mereka memiliki penjualan terbanyak. Data dari
Wikipedia menyebutkan bahwa penerbit di Inggris menetapkan angka best seller untuk buku hardcover yaitu
4.000 sampai 25.000 eksemplar per minggu.
Label Best
Seller sementara ini baru bisa
diartikan sebagai buku andalan dengan penjualan paling baik dari penerbit
bersangkutan. Namun secara tidak langsung label ini punya informasi yang lebih
dalam lagi.
Selera orang tidak akan pernah bisa berbohong. Selera ini
dapat dilihat dari kesediaan seseorang untuk melakukan apa yang memang disukai,
termasuk membaca dan menikmati sastra. Salah satu pertimbangan seseorang dalam
menikmati karya sastra adalah bahwa karya sastra tersebut memiliki nilai
tersendiri pada pembacanya. Sebagai
seorang penikmat sastra, sudah tentu kita berharap bahwa apa yang kita baca
akan memiliki nilai tersendiri bagi kita. Buku-buku pengantar kajian sastra
seing membedakan fiksi berdasarkan nilainya menjadi dua kategori, yaitu fiksi
bernilai sastra dan fiksi bernilai hiburan. Apabila kita mendapatkan nilai yang
sesuai dengan yang kita inginkan, maka sebenarnya karya sastra tersebut sudah
menunaikan tugasnya dengan baik.
Maka, apabila banyak orang merasa bahwa suatu karya
sastra bisa memberikan nilai yang diinginkan pembaca, karya sastra tersebut
bisa digemari dan akhirnya banyak yang menyisihkan uang untuk membelinya. Dari
sini kita dapat sebuah informasi bahwa sastra Best Seller secara tidak langsung menunjukkan bahwa karya sastra
tersebut memiliki sebuah kualitas yang tinggi dan apabila label Best Seller tidak ditempatkan
sebagaimana mestinya, itu adalah sebuah penipuan tersistematis.
Baca juga: Resensi Buku Assamulaikum Calon Imam Karya Ima Madaniah
Namun, pembaca juga harus bisa kritis
dalam mengadopsi pendapat saya di atas. Perlu juga disadari bahwa ada
kekurangan dari kritisi di atas. Sastra Best
Seller biasanya hanya menunjukkan bahwa karya sastra tersebut memiliki
jumlah pembeli yang banyak. Pembeli yang banyak bukan berarti bahwa setiap
pembeli memeroleh kepuasan setelah membaca karya sastra tersebut. Jadi, sastra Best Seller tidak serta merta dapat
dijadikan indikator bahwa karya sastra ini dapat melegakan hasrat dari pembaca
untuk menikmati sebuah karya sastra yang berkualitas.
Lantas bagaimana bisa tahu mereka puas
atau tidak? Mudah saja, bacalah resensi soal buku yang mau Anda beli, beberapa
situs toko buku online biasanya memuat opini pembaca soal buku atau bisa juga
mengintip di situs Good
Reads atau di
berbagai artikel resensi buku di media massa.
Pelabelan terkadang dapat digunakan
untuk membentuk persepsi seseorang. Label “kulit hitam” menurut peneliti sering
dikaitkan dengan kejahatan dan kriminalitas. Jika Anda orang Indonesia dan Anda
diperdengarkan dengan frasa “Orang Cina” apa yang Anda akan tangkap? Untuk saya
sendiri akan terpikirkan seseorang pedagang yang sukses. Tentu saja persepsi
setiap orang akan berbeda satu sama lain. Begitu pula dengan label “Best Seller”.
Jika saya mengucapkan frasa ini, apakah yang terlintas dalam benak Anda? Bagi
Anda yang baru pertama kali berpikir bahwa frasa ini ada, maka Anda kemungkinan
besar berpikir bahwa sebuah karya sastra yang berkualitas dengan jumlah
penjualan yang banyak.
Namun, untuk saya yang
telah mengalami sendiri fenomena seperti ini, akan terasa sulit untuk
mengatakan bahwa sastra Best Seller adalah
sastra yang berkualitas. Bukan berarti saya memukul rata bahwa sastra Best Seller semuanya jelek, tetapi perlu
perhatian yang lebih cermat lagi untuk menyimpulkan bahwa karya sastra tersebut
berkualitas atau tidak. Sebagai seorang penikmat sastra, tentu saya tidak ingin
Anda semua terjerumus dengan label “Best Seller” seperti ini.
Dari berbagai pemaparan
di atas, boleh kiranya saya menyimpulkan ternyata sebuah label yang tertempel
dalam sebuah karya sastra adalah penting. Buktinya, label Best Seller bisa dijadikan pengundang bagi para pembaca untuk
mengonsumsi karya tersebut. Fenomena ini pun baru sangat tampak saat ini yang
dibuktikan dengan banyaknya buku Best
Seller yang terkadang abal-abalan beredar di toko buku.
Terlepas dari semua
itu, pelabelan yang abal-abalan ini perlu mendapat perhatian lebih dari seluruh
lapisan. Masyarakat tidak boleh dijejali dengan kepalsuan akan kualitas dari
sebuah karya sastra. Penerbit pun tidak boleh semena-mena dengan memberikan
label “Best Seller” pada buku-bukunya tanpa ada dasar yang kuat. Segala bentuk
pelabelan seperti ini bisa digolongkan sebagai sebuah penipuan.
Dulu, pelabelan seperti ini sangat
jarang atau bahkan tidak dikenal. Lalu bagaimana cara orang menilai sebuah
karya sastra tersebut berkualitas. Tentu salah satunya dengan melihat siapa
penulisnya.
Nama penulis merupakan
sebuah label yang paling realistis dalam menilai sebuah karya sastra. Tidak
perlu sebuah label “Best Seller” di depan sampul untuk mengatakan bahwa buku
karya Pramoedya Ananta Toer itu berkualitas. Tidak perlu sebuah label “Best
Seller” bertinta emas untuk mengatakan bahwa karya NH Dini itu pantas untuk
disejajarkan dengan karya-karya monumental Indonesia.
Akhirnya dibutuhkan sebuah
kebijaksanaan untuk memilih mana karya sastra yang pantas untuk dibaca dan mana
yang tidak.
Posting Komentar untuk "SASTRA BEST SELLER. APA BENAR LARIS DAN BERKUALITAS?"