Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK USIA SEKOLAH DASAR



A. Pengertian Perkembangan Sosio-emosional


Perkembangan sosioemosional mencakup perkembangan sosial dan perkembangan emosi. Perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock, 1990). Tuntutan sosial pada perilaku sosial anak tergantung dari perbedaan harapan dan tuntutan budaya dalam masyarakat tempat anak-anak tumbuh dan berkembang. Setiap masyarakat memiliki harapan sosial sesuai budaya masyarakat tersebut. Sebagai contoh masyarakat pedesaan tidak berbudaya untuk memberikan les tambahan di luar pembelajaran di sekolah, sedangkan masyarakat perkotaan sangat berbudaya untuk memberikan les tambahan bagi anak usia SD dengan tujuan lebih menunjang perkembangan kompetensi anak. 


Perkembangan emosi merupakan proes yang kompleks dapat berupa perasaan atau pikiran yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul dari perilaku seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, emosi sering diistilahkan dengan perasaan. Misalnya seorang siswa mengatkan hari ini ia merasa senang karena dapat mengerjakan semua PR dengan baik. Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai intensitas relatif tinggi dan menimbulkan suatu gejolak suasana batin. Emosi mempunyai 4 ciri minimal yaitu (1) pengalaman emosional bersifat pribadi/subjektif, (2) ada perubahan secara fisik, contoh saat sedang marah, maka denyut jantung semakin cepat, (3) diekspresikan dalam perilaku seperti takut, marah, sedih, dan bahagia, (4) sebagai motif, yaitu tenaga yang mendorong seseorang melakukan kegiatan tertentu, contoh oraang yang sednag marah mempunyai tenaga dan dorongan untuk memukul atau merusak barang.


Berdasarkan pengertian perkembangan sosial dan emosi maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa perkembangan sosioemosional merupakan proses dimana individu melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan sosial terutama tekanan dan tuntutan kehidupan serta belajar bergaul dengan bertingkah laku seperti harapan masyarakat di dalam lingkungan sosial sehingga individu tersebut dapat diterima dalam lingkungan sosial.


B. Karakteristik Perkembangan Sosioemosional Anak usia Sekolah Dasar (6-12) Tahun

Menurut teori perkembangan sosioemosional yang diungkapkan oleh Erikson, maka siswa usia Sekolah Dasar berada pada tahap industry vs inferiority (Rajin vs Rendah Diri). Usianya antara 6-12 tahun. Anak pada usia ini memiliki karakter sosioemosional sebagai berikut.

a. Keinginan menguasai sesuatu
b. Keinginan berjaya, 
c. Menguasai kemahiran asas fizikal dan sosial, 
d. Memerlukan peneguhan positif/ penghargaan terhadap tugas yang disempurnakannya
e. Merasa komplek rendah diri jika dikritik. 


Anak-kanak SD umumnya menghadapi pembelajaran kemahiran baru atau sebaliknya menghadapi risiko perasaan rendah diri, kegagalan dan tidak cakap. Kemahiran yang diperoleh berkisar di alam persekolahan. Anak-kanak yang gagal dalam peringkat ini akan merasa rendah diri dan tidak hanya dalam hal pencapaian akademik tetapi juga dalam hubungan sosial dengan individu di persekitaran mereka.


Anak usia sekolah dasar berada pada tahap industry vs inferiority. Pada tahap ini, anak mulai banyak berhubungan dengan teman-teman sebaya dan mengeksplorasi segala kemampuan yang dimiliki. Karakteristik menonjol yang terbentuk pada tahap ini adalah sikap percaya diri, kompetitif, dan rasa sosial. Masa-masa ini penuh dengan kepercayaan diri bahwa aku dapat mengerjakannya sendiri. Masa ini adalah masa perkembangan emas. Anak berada pada level mempunyai semangat tinggi, merdeka, bekerjasama dengan kelompok dan berani tampil untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungannya (McHale, Dariotis, & Kauh, 2003)


Aspek-aspek penting yang menjadi kajian pada masa usia SD antara lain sebagai berikut.


a. Self Concept dan Self Esteem


Salah satu faktor yang berasal dari dalam diri siswa adalah concept self yaitu gabungan dari ide, perasaan dan sikap seseorang tentang dirinya (Hilgard, Atkinson & Atkinson, 1979), dimana pandangan dan nilai-nilai tersebut diperolehnya melalui pengalaman hidupnya. Berkenaan dengan self concept, seseorang juga mempunyai self esteem (self esteem), yaitu suatu penilaian atau penghargaan seseorang terhadap kemampuan dan rasa berharga dirinya. 


Self concept dan self esteem tersebut sering digunakan bersamaan meskipun mempunyai makna berbeda. Untuk dapat memahami konsep ini lebih baik, dapat dikatakan bahwa self concept terkait dengan unsur kognitif dimana berisi segala pengetahuan mengenai diri seseorang. Sedangkan self esteem melibatkan unsur afektif karena didalam self esteem telah terdapat penilaian baik atau buruk terhadap seseorang. 

b. Perbandingan sosial

Proses perbandingan seseorang dengan orang lain untuk mendapatkan informasi dan mengevaluasi serta memberikan penilaian terhadap kemampuan, sikap dan pengakuan diri.

c. Teman bermain/berkelompok

Semakin pentingnya teman sebaya dalam masa anak-anak SD. Pada kelas 1-5 sekolah dasar teman sebaya umumnya terdiri dari anak-anak berjenis kelamin sama dengan umur yang relatif sebaya. Sementara itu, menjelang kelas enam siswa sering membentuk kelompok yang memasukkan dua-duanya laki-laki maupun perempuan. Anggota-anggota kelompok sebaya itu saling mengajarkan tentang dunia mereka yang berbeda. Anak laki-laki meningkatkan prestise dengan berprilaku agresif secara fisik, unggul dalam olahraga, berani, memperoleh perhatian, serta ramah dengan teman laki-laki lain. Sedangkan pada kelompok sebaya perempuan persahabatan lebih berkaitan dengan menjadi menarik, popular, ramah, optimis, dan memiliki rasa humor (Rubin,1980)


d. Keberterimaan kelompok

Penerimaan teman sebaya oleh anak-anak sekolah dasar di klasifikasikan sebagai berikut: Anak populer adalah anak-anak yang disebut paling sering oleh teman sebaya mereka sebagai seseorang yang mereka sukai dan hampir tidak pernah seseorang yang tidak mereka sukai. Sebaliknya anak-anak yang ditolak (rijected chidren) adalah anak-anak yang paling sering disebut oleh teman sebaya mereka sebagai seseorang yang meraka tidak sukai dan hampir tidak pernah disebut sebagi seseorang yang mereka sukai. Anak-anak juga disklasifikasikan sebagai tersisihkan (neglected) anak-anak ini hampir tidak pernah disebut sebagai seseorang yang disukai atau disebut sebagai orang yang tidak disukai. Anak-anak kontroversial sering disebut sebagai yang disukai namun juga sering disebut sebagai seseorang yang tidak disukai. Anak-anak rata-rata adalah mereka yang disebut sebagai disukai dan tidak disukai dengan frekuensi atau kekerapan sedang-sedang. Dengan sebuah telaah penelitian teman sebaya, Parker dan Asher (1987) menyimpulkan bahwa anak-anak yang tidak diterima dengan baik atau terabaikan oleh teman sebaya mereka di sekolah dasar merupakan anak-anak beresiko tinggi. Anak-anak ini lebih memiliki kemungkinan putus sekolah, terlibat dalam tindak kenakalan anak-anak, dan lebih memiliki masalah-masalah emosional dan kejiwaan dalam masa remaja dan dewasa daripada teman sebaya mereka yang lebih diterima (Morrison dan Masten, 1991). 

Beberapa anak terabaikan cenderung amat agresif, yang lain cenderung amat pasif dan menyendri. Anak-anak yang terabaikan, agresif, dan menyendiri cenderung berada pada resiko tertinggi karena terlibat berbagai kesulitan (Hymel, Bowker, dan Woody, 1993). Anak-anak yang tersisihkan lebih sensitif dan percaya diri, dibanding dengan anak-anak yang menjadi populer atau banyak yang suka. Mereka lebih banyak menjadi anak yang pendiam, murung, dan terkadang sering tersinggung dengan bercandaan teman- temannya. Perkembangan sosioemosionalnya pun akan terganggu, karena anak-anak yang tersisihkan akan sedikit mempunyai teman dan tidak percaya diri. Sehingga sulit bersosialisasi dengan teman-temannya dan sulit mengembangkan diri anak-anak tersebut. Dibandingkan dengan anak-anak yang populer, yang banyak temannya. Mereka lebih mudah daam bersosialisasi, mengembangkan dirinya, dan kepercayaan dirinya penuh. 


Perkembangan Emosi Siswa Sekolah Dasar


1. Perkembangan emosi anak usia SD 


Perkembangan emosi anak usia SD secara lebih rinci dijelaskan sebagai berikut.


Pada usia 5-6 


a. Anak mulai mempelajari kaidah dan aturan yang berlaku


b. Anak mempelajari konsep keadilan dan rahasia. 


c. Anak mulai mampu menjaga rahasia. Ini adalah keterampilan yang menuntut kemampuan untuk menyembunyikan informasi- informasi 


Anak usia 7-8 tahun 


a. Perkembangan emosi pada masa ini anak telah menginternalisasikan rasa malu dan bangga.


b. Anak dapat menverbalsasikan konflik emosi yang dialaminya. Semakin bertambah usia anak, anak semakin menyadari perasaan diri dan orang lain. 


Anak usia 9-10 tahun 


a. Anak dapat mengatur ekspresi emosi dalam situasi sosial dan dapat berespon terhadap stress emosional yang terjadi pada orang lain. 


b. Selain itu dapat mengontrol emosi negatif seperti takut dan sedih. 


c. Anak belajar apa yang membuat dirinya sedih, marah atau takut sehingga belajar beradaptasi agar emosi tersebut dapat dikontrol (suriadi & yuliani, 2006). 


Pada masa usia 11-12 tahun 


a. Pengertian anak tentang baik-buruk tentang norma-norma aturan serta nilai-nilai yang berlaku di lingkungannya menjadi bertambah dan juga lebih fleksibel, tidak sekaku saat di usia kanak-kanak awal. 


b. Mereka mulai memahami bahwa penilaian baik-buruk atau aturan-aturan dapat diubah tergantung dari keadaan atau situasi munculnya perilaku tersebut. 


c. Nuansa emosi mereka juga makin beragam.


2. Ciri Khas Emosi Pada Anak 


a. Emosi yang kuat 


Anak kecil bereaksi dengan intensitas yang sama, baik terhadap situasi yang remeh maupun yang serius. Anak pra remaja bahkan bereaksi dengan emosi yang kuat terhadap hal-hal yang tampaknya bagi orang dewasa merupakan soal sepele. 


b. Emosi seringkali tampak 


Anak-anak seringkali memperlihatkan emosi yang meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional seringkali mengakibatkan hukuman, sehingga mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka akan berusaha mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima. 


c. Emosi bersifat sementara 


Peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis, atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang merupakan akibat dari 3 faktor, yaitu : 


1) Membersihkan sistem emosi yang terpendam dengan ekspresi terus terang. 


2) Kekurangsempurnaan pemahaman terhadap situasi karena ketidakmatangan intelektual dan pengalaman yang terbatas.


3) Rentang perhatian yang pendek sehingga perhatian itu mudah dialihkan. Dengan meningkatnya usia anak, maka emosi mereka menjadi lebih menetap. 


d. Reaksi mencerminkan individualitas 


Semua bayi yang baru lahir mempunyai pola reaksi yang sama. Secara bertahap dengan adanya pengaruh faktor belajar dan lingkungan, perilaku yang menyertai berbagai macam emosi semakin diindividualisasikan. Seorang anak akan berlari keluar dari ruangan jika mereka ketakutan, sedangkan anak lainnya mungkin akan menangis dan anak lainnya lagi mungkin akan bersembunyi di belakang kursi atau di balik punggung seseorang. 


e. Emosi berubah kekuatannya 


Dengan meningkatnya usia anak, pada usia tertentu emosi yang sangat kuat berkurang kekuatannya, sedangkan emosi lainnya yang tadinya lemah berubah menjadi kuat. Variasi ini sebagian disebabkan oleh perubahan dorongan, sebagian oleh perkembangan intelektual, dan sebagian lagi oleh perubahan minat dan nilai. 


f. Emosi dapat diketahui melalui gejala perilaku 


Anak-anak mungkin tidak memperlihatkan reaksi emosional mereka secara langsung, tetapi mereka memperlihatkannya secara tidak langsung melalui kegelisahan, melamun, menangis, kesukaran berbicara, dan tingkah yang gugup, seperti menggigit kuku dan mengisap jempol.


3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi 


a. Keadaan anak 


Keadaan individu pada anak, misalnya cacat tubuh ataupun kekurangan pada diri anak akan sangat mempengaruhi perkembangan emosional, bahkan akan berdampak lebih jauh pada kepribadian anak. Misalnya: rendah diri, mudah tersinggung, atau menarik diri dari lingkunganya. 


b. Faktor belajar 


Pengalaman belajar anak akan menentukan reaksi potensial mana yang mereka gunakan untuk marah. Pengalaman belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain: 


1) Belajar dengan coba-coba 


Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberi pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberi kepuasan. 


2) Belajar dengan meniru 


Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak bereaksi dengan emosi dan metode yang sama dengan orang-orang yang diamati. 


3) Belajar dengan mempersamakan diri 


Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya meniru orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat 


dengannya. 


4) Belajar melalui pengondisian 


Dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada awal-awal kehidupan karena anak kecil kurang menalar, mengenal 


betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. 


5) Belajar dengan bimbingan dan pengawasan. 


Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan (Fatimah, 2006)


c. Konflik – konflik dalam proses perkembangan 


Setiap anak melalui berbagai konflik dalam menjalani fase-fase perkembangan yang pada umumnya dapat dilalui dengan sukses. Namun jika anak tidak dapat mengamati konflik-konflik tersebut, biasanya mengalami gangguan-gangguan emosi 


d. Lingkungan keluarga 


Salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi nilai keluarga mengenai bagaimana anak bersikap dan berperilaku. Keluarga adalah lembaga yang pertama kali mengajarkan individu (melalui contoh yang diberikan orang tua) bagaimana individu mengeksplorasi emosinya. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Keluarga sangat berfungsi dalam menanamkan dasar-dasar pengalaman emosi, karena disanalah pengalaman pertama didapatkan oleh anak. 


Keluarga merupakan lembaga pertumbuhan dan belajar awal (learning and growing) yang dapat mengantarkan anak menuju pertumbuhan dan belajar selanjutnya. Gaya pengasuhan keluarga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang emosinya positif, maka perkembangan emosi anak akan menjadi positif. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya negatif seperti, melampiaskan kemarahan dengan sikap agresif, mudah marah, kecewa dan pesimis dalam menghadapi masalah, maka perkembangan emosi anak akan menjadi negatif (Syamsu, 2008). Keterkaitan secara teoritik antara lingkungan keluarga dengan pengungkapan emosi juga dijelaskan oleh Goleman (2000), yang meninjau terjadinya proses pengungkapan emosi sejak awal yaitu pada masa anak-anak. Goleman (2000) menjelaskan bahwa cara-cara yang digunakan orang tua untuk menangani masalah anaknya memberikan pelajaran yang membekas pada perkembangan emosi anak.


Gaya mendidik orang tua yang mengabaikan perasaan anak, yang tercermin pada persepsi negatif orang tua terhadap emosi, emosi anak dilihat sebagai gangguan atau sesuatu yang selalu direspon orang tua dengan penolakan. Pada masa dewasa, anak tersebut tidak akan menghargai emosinya sendiri yang menimbulkan keterbatasan dalam mengungkapkan emosinya. Sebaliknya, pada kelurga yang menghargai emosi anak yang dibuktikan dengan penerimaan orang tua terhadap ungkapan emosi anak, pada masa dewasa nanti anak akan menghargai emosinya sendiri sehingga ia mampu mengungkapkan emosinya pada orang lain.


4. Pola Emosi pada Anak menurut Syamsu (2008) 


a. Rasa takut 


Takut yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang membahayakan. Rasa takut terhadap sesuatu berlangsung melalui tahapan. 


1) Mula-mula tidak takut, karena anak belum sanggup melihat kemungkinan yang terdapat pada objek 


2) Timbulnya rasa takut setelah mengenal bahaya 


3) Rasa takut bias hilang kembali setelah mengetahui cara-cara menghindari bahaya 


b. Rasa malu 


Rasa malu merupakan bentuk ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa. 


c. Rasa canggung 


Seperti halnya rasa malu, rasa canggung adalah reaksi takut terhadap manusia, bukan ada obyek atau situasi. Rasa canggung berbeda dengan rasa malu daam hal bahwa kecanggungan tidak disebabkan oleh adanya orang yang tidak dikenal atau orang yang sudah dikenal yang memakaai pakaian tidak seperti biasanya, tetapi 


lebih disebabkan oleh keraguan-raguan tentang penilaian orang lain terhadap prilaku atau diri seseorang. Oleh karena itu, rasa canggung merupakan keadaan khawatir yang menyangkut kesadaran-diri (self-conscious distress). 


d. Rasa khawatir 


Rasa khawatir biasanya dijelaskan sebagai khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Tidak seperti ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh rangsangan dalam lingkungan tetapi merupakan produk pikiran anak itu sendiri. Rasa khawatir timbul karena karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan meningkat. Kekhawatiran adalah normal pada masa kanak-kanak, bahkan pada anak-anak yang penyesuaiannya paling baik sekalipun. 


e. Rasa cemas 


Rasa cemas ialah keadaan mental yang tidak enak berkenaan dengan sakit yang mengancam atau yang dibayangkan. Rasa cemas ditandai oleh kekhwatiran, ketidakenakan, dan merasa yang tidak baik yang tidak dapat dihindari oleh seseorang; disertai dengan perasaan tidak berdaya karena merasa menemui jalan buntu; dan di sertai pula dengan ketidakmampuan menemukan pemecahan masalah yang dicapai. 


f. Rasa marah 


Rasa marah adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika dibandingkan dengan rasa takut. Alasannya ialah karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak, dan pada usia yang dini anak-anak mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi keinginan mereka. 


g. Rasa cemburu 


Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih sayang. h. Duka cita 


Duka cita adalah trauma psikis, suatu kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai. 


h. Keingintahuan 


Rangsangan yang menimbulkan keingintahuan anak-anak sangat banyak. Anak-anak menaruh minat terhadap segala sesuatu di lingkungan mereka, termasuk diri sendiri. 


i. Kegembiraan 


Kegembiraan adalah emosi yang menyenangkan yang juga dikenal dengan keriangan, kesenangan, atau kebahagian. Setiap anak berbeda-beda intensitas kegembiraan dan jumlah kegembiraannya serta cara mengepresikannya sampai batas-batas tertentu dapat diramalkan. Sebagai contoh ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-anak yang lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok dari pada anak-anak yang lebih tua. 


Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah Dasar


1. Bentuk-bentuk Perilaku Sosial Anak


Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak Usia SD/MI mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial, diantaranya:


1. Pembangkangan (Negativisme)


Pembangkangan merupakan bentuk tingkah laku melawan. Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Orang tua seharusnya tidak memberikan sebutan untuk anak yang nakal, keras kepala, tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent (terikat) menuju kearah independent (mandiri)


2. Agresi (Agression)


Yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti ; mencubit, menggigit, menendang dan lain sebagainya.


Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka agresifitas anak akan semakin meningkat.


3. Berselisih (Bertengkar)


Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.


4. Menggoda (Teasing)


Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.


5. Persaingan (Rivaly)


Yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain, yaitu persaingan prestice (merasa ingin menjadi lebih dari orang lain).


6. Kerja sama (Cooperation)


Yaitu sikap mau bekerja sama dengan orang lain. 


7. Tingkah laku berkuasa (Ascendant behavior)


Yaitu tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap bossiness. Wujud dari sikap ini adalah ; memaksa, meminta, menyuruh, mengancam dan sebagainya.


8. Mementingkan diri sendiri (selffishness)


Yaitu sikap egosentris dalam memenuhi keinginannya


9. Simpati (Sympathy)


Yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.


2. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak


Faktor yang dapat mengganggu proses sosialisasi anak, Soetarno (2007) berpendapat bahwa ada dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, yaitu faktor lingkungan keluarga dan faktor dari luar rumah atau luar keluarga. Penjelasan dari dua faktor tersebut adalah:


1. Faktor Keluarga


Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan sosial anak. Diantara faktor yang terkait dengan keluarga dan yang banyak berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak adalah hal-hal yang berkaitan dengan:


· Status sosial ekonomi keluarga


· Keutuhan keluarga.


· Sikap dan kebiasaan orang tua


2. Faktor Lingkungan Luar Keluarga


Pengalaman sosial awal di luar rumah melengkapi pengalaman anak di dalam rumah dan merupakan penentu yang penting bagi sikap sosial dan pola perilaku anak. Sedangkan Elizabeth B. Hurlock (1978) menambahkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, yaitu faktor pengalaman awal yang diterima anak. Pengalaman sosial awal sangat menentukan perilaku kepribadian selanjutnya


Sekolah juga mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi perkembangan sikap sosial anak, karena selama masa pertengahan dan akhir anak-anak, Anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah sebagai anggota suatu masyarakat kecil yang harus mengerjakan sejumlah tugas dan mengikuti sejumlah aturan yang menegaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka (Santrock dalam Sinolungan).


Di sekolah, guru membimbing perkembangan kemampuan sikap, dan hubungan sosial yang wajar pada peserta didiknya. Hubungan sosial yang sehat dalam sekolah dan kelas seharusnya diprogram, dikreasikan, dan dipelihara bersama-sama dalam belajar, bermain dan berkompetisi sehat. Sekolah mengupayakan layanan bimbingan kepada peserta didik. Bimbingan selain untuk belajar adalah untuk penyesuaian diri ke dalam lingkungan atau juga penyerasian terhadap lingkungannya. Kepada siswa diajarkan tentang disiplin dan aturan melalui keteraturan atau conformity yang disiratkan dalam tiap pelajaran (Sinolungan, 2001).


3. Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku


Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pergaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya.


Pikiran anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam pikirannya.


Disamping itu pengaruh egoisentris sering terlihat, diantaranya berupa:


a. Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat labih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.


b. Berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain daalm penilaiannya.


Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkurang dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.





C. Implikasi Karakteristik Peserta Didik dalam Sosioemosional terhadap Penyelenggaraan Pendidikan bagi Anak Usia Sekolah Dasar 


1. Karakteristik anak usia SD adalah senangbermain, senangbergerak, senangbekerja dalam kelompok, serta senang merasakan/melakukan sesuatu secara langsung. Oleh karena itu,guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan, memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembelajaran. 


2. Menurut Havighurst tugas perkembangan anak usia SD adalah sebagai berikut : 


a. Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik, 


b. Membangun hidup sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan. 


c. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya, belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin 


d. Mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat, 


e. Mengembangkan konsep‐konsep hidup yang perlu dalam kehidupan. 


f. Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai‐nilai sebagai pedoman perilaku. 


g. Mencapai kemandirian pribadi. 


Sedangkan tugas-tugas perkembangan masa pertengahan dan masa akhir anak-anak menurut Santrock diantaranya sebagai berikut : 


a. Membaca 


b. Berinteraksi dengan teman sebayanya 


c. Anak-anak yang memiliki prestasi 


d. Peralihan peran untuk menjalani peran baru, misalnya perubahan “anak rumah” (homechild) menjadi “anak sekolah” (schoolchild) 


e. Pemahaman diri berubah secara pesat dari mendefinisikan diri melalui karakteristik eksternal menjadi mendefinisikan melalui karakteristik internal. Misalnya seorang anak mengatakan dirinya cukup lumayan tidak kuatir terus menerus, suka marah, tetapi sudah lebih baik sekarang.


Tugas perkembangan tersebut mendorong guru SD untuk : 


a. Menciptkaan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik, 


b. Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian sosialnya berkembang, 


c. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep, serta 


d. Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai‐nilai sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya
BACA JUGA SELF-DETERMINATION PADA ANAK USIA SD

Selain itu menurut Erikson, guru harus mempunyai strategi dalam mendidik anak yang meliputi:

1. Mendorong inisiatif dalam diri anak 

Anak-anak pada program pendidikan prasekolah dan masa kanak-kanak awal harus diberi banyak kebebasan untuk mengeksplorasi dunia mereka. Mereka harus diijinkan untuk memilih beberapa aktifitas di mana mereka akan terlibat dan dan diberi materi yang menarik untuk merangsang imajinasi. Anak-anak pada tingakatan ini senang bermain. Bermain tidak hanya memberi manfaat untuk perkembang sosial emosional mereka tetapi juga merupakan media yang penting untuk pertumbuhan kognitif mereka.

2. Mendorong anak-anak sekolah dasar untuk lebih rajin 

Para guru mempunyai tanggung jawab khusus untuk mendorong anak-anak lebih rajin. Erikson berharap, guru dapat memberi susasana yang mebuat anak-anak bergairah untuk belajar.

3. Menstimulasi eksplorasi identitas pada masa remaja 

Kenali bahwa identitas siswa itu bersifat multi dimensional. Aspek-aspek mencangkup tujuan pendidikan, prestasi intelektual, serta minat dan hobi olah raga, musik dan bidang-bidang lain. Mintalah para remaja untuk menulis esay tentang aspek-aspek tersebut, mengeksplorasi siapa diri mereka, dan apa yang mereka ingin lakukan dalam hidup mereka. Doronglah para remaja untuk berpikir dengan bebas untuk mengungkapkan pandangan mereka.

4. Periksalah hidup anda sebagai guru melalui lensa delapan tahapan Erikson 

Sebagai contoh, anda mungkin berada pada usia dimana Erikson mengatakan bahwa isu yang paling penting adalah identitas versus kebingungan identitas. Sebuah aspek penting dari perkembangan bagi orang dewasa awal adalah memiliki hubungan yang positif dan akrab dengan orang lain. 


5. Manfaatkan karakteristik dan beberapa tahapan Erikson yang lain.


Guru-guru yang kompeten, dapat dipercaya, menunjukan inisiatif, rajin dan menunjukan penguasaan, serta termotivasi untuk mengontribusikan sesuatu yang berarti untuk generasi berikutnya.





DAFTAR RUJUKAN 

Hartinah, S. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Refika Aditama 

Kurnia, I. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional

Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology. Boston: Library of Congress Cataloging in Publication Data

Sunarto dan Hartono, A. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta 

Herisa, D. 2010. Self Concept & Self Esteem.. How important is these two??. (Online), (http://psikoku.blogspot.com/2010/02/self-concept-self-esteem-how-important.html), diakses 25 Oktober 2013

Usholihah, anisa. 2012. 8 Tahap Perkembangan Erikson. (Online), (https://www.google.com/#q=TAHAP+INDUSTRY+VS+INFERIORITY+ERIKSON), diakses 25 Oktober 2013.












Posting Komentar untuk "PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL ANAK USIA SEKOLAH DASAR"