1.
Setujukah Anda dengan pendapat bahwa guru dikatakan
tidak dapat dikategorikan sebagai
pekerjaan profesional secara penuh (a
profession in the fullest sense)?
Saya sangat setuju jika saat ini profesi guru
(dalam hal ini di Indonesia) dikatakan tidak dapat dikategorikan sebagai pekerjaan
profesional secara penuh (a profession in
the fullest sense), hal tersebut merujuk pada
kenyataan di lapangan yang dapat dikaji secara teoritis maupun yuridis.
Beberapa teori yang menjelaskan tentang apa itu “profesi” telah memberikan
gambaran/karakteristik tertentu bagaimana suatu pekerjaan dapat dikatakan
sebagai pekerjaan profesional secara penuh. Suatu profesi dikatakan sebagai
pekerjaan profesional secara penuh (Ornstein & Levine, 2008: 31) apabila
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) memberikan pelayanan publik dan
berkomitmen seumur hidup untuk karirnya,
2) memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang tidak dimiliki oleh orang awam,
3) mengikuti pelatihan/pendidikan
khusus dalam jangka waktu yang panjang,
4) memiliki kontrol atas standar
perizinan dan standar masuk,
5) memiliki kemandirian untuk
membuat suatu keputusan dalam bidangnya,
6) memiliki standar kinerja yang
mengatur tanggung jawab untuk membuat keputusan dan tindakan-tindakan yang
harus dilakukan dalam memberikan pelayanan/jasa kepada publik,
7) memiliki suatu organisasi profesi
yang anggotanya terdiri dari profesi tersebut,
8) Adanya pengakuan/penghargaan
terhadap individu berprestasi yang diberikan oleh asosiasi profesional,
9) memiliki kode etik untuk membantu
menjelaskan hal-hal yang masih membingungkan atau diragukan terkait dengan
layanan yang diberikan,
10)
memiliki
prestise yang tinggi dan gaji yang tinggi.
Berkaitan
dengan profesi guru, Robert W Rickey (dalam Djumiran, 2008:1-11) menyatakan
bahwa ciri-ciri profesi keguruan adalah sebagai berikut:
1) guru bekerja semata-mata hanya
untuk memberikan pelayanan kemanusiaan/publik, bukan lebih semata-mata usaha
untuk memenuhi kepentingan pribadi guru,
2) guru secara hukum dituntut untuk
memenuhi beberapa persyaratan secara ketat untuk mendapatkan lisensi mengajar
serta untuk bergabung dengan organisasi guru,
3) guru dituntut untuk memiliki
pemahaman dan keterampilan yang tinggi dalam hal bahan ajar, metode, anak
didik, dan landasan kependidikan,
4) guru dalam organisasi profesional
memiliki publikasi profesional untuk melayani para guru agar selalu dapat
mengikuti perkembangan yang terjadi,
5) guru selalu diusahakan untuk
mengikuti kursus-kursus workshop,
seminar, konvensi serta terlibat secara luas dalam berbagai kegiatan dalam
jabatan,
6) guru diakui sepenuhnya sebagai
suatu karier hidup,
7)
guru
memiliki nilai dan etika yang berlaku baik secara nasional maupun secara lokal.
Selain kajian teori di atas, profesi guru juga
diatur dalam UU No 14 tahun 2005 yang di dalamnya menjelaskan pada pasal 2 ayat
2 bahwa guru dikatakan sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat
pendidik. Dalam undang-undang tersebut juga dijekaskan lebih lanjut mengenai
kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi. Berbicara mengenai sertifkasi,
peraturan mengenai hal ini juga telah diperbaharui dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2013 tentang
Sertifikasi Guru dalam Jabatan dalam Rangka Penataan dan Pemerataan Guru.
Berdasarkan kenyataan di lapangan, kriteria
profesional dan juga landasan yuridis di atas , guru di Indonesia saya rasa
belum dapat dikatakan sebagai pekerjaan profesional secara penuh karena
beberapa karakteristik belum dapat dipenuhi oleh guru di Indonesia. Guru belum mengutamakan
pelayanan publik daripada kepentingan pribadi. Bahkan semenjak adanya
sertifikasi guru, banyak guru lebih mengejar kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan finansial dan perilaku konsumtif mereka daripada meningkatkan kompetensi mereka
dalam memberikan pelayanan terhadap siswa dengan cara mengikuti seminar,
pelatihan, workshop dan lain
sebagainya. Profesi guru di Indonesia juga belum memiliki kontrol yang ketat
dan jelas terhadap lisensi mengajar, maupun standar masuk. Seharusnya profesi
guru mempunyai sertifikat pendidik yang diperoleh dengan standar yang ketat dan
sulit, sehingga tidak sembarangan orang bisa menjadi guru. Namun kenyataan
sekarang, setiap orang yang mau mengajar seolah-olah bisa menjadi guru, bahkan
lulusan selain Sarjana Pendidikan (S.Pd) dapat menjadi guru asalkan mau
mengikuti pendidikan profesi guru (PPG) selama 1 tahun. Dan lebih parahnya
lulusan SMA pun bisa menjadi guru bantu di sekolah-sekolah. Hal tersebut
tentunya berdampak terhadap rendahnya kualitas guru dalam hal pemahaman dan
keterampilan pada bahan ajar, metode, karakteristik peserta didik, dan landasan
kependidikan. Selain itu juga berdampak pada rendahnya prestise guru di mata
masyarakat, meskipun gaji guru meningkat dengan adanya sertifikasi guru.
Profesi guru juga belum memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan karena
terikat dengan instansi dan atasan (dalam hal ini kepala sekolah). Bahkan
berdasarkan pengalaman saya, dalam menentukan metode mengajar saja diatur. Hal
tersebut membuat saya tidak dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah saya
peroleh ketika di bangku perkuliahan selama 3,5 tahun di FKIP Universitas
Jember.
2.
Uraikan pandangan filosofis Anda tentang pendidikan
dan bagaimana landasan itu Anda terapkan dalam menjalankan tugas sebagai
pendidik!
Pandangan filosofis yang saya anut adalah pandangan
filosofis pragmatis/eksperimental karena saya menganggap bahwa landasan
filosofis inilah yang menjadi dasar dari teori belajar kontruktivisme dan
pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) yang saya terapkan dalam pembelajaran. Landasan
filosofis pragmatis dijelaskan dalam beberapa aspek kajian yaitu metafisika,
epistemologis, aksiologis, dan logika. Secara metafisika, pandangan filosofis
ini menganggap bahwa konsep atau kebenaran tentang suatu fakta/kenyataan
dibentuk berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. Sifatnya
selalu berubah-ubah dipengaruhi oleh perubahan perkembangan zaman. Kebenaran saat ini belum tentu menjadi
kebenaran di masa yang akan datang (Ornstein & Levine, 2008: 163). Hal
tersebut sesuai dengan halikat pendekatan kontruktivisme dalam pembelajaran
yang diangkat dalam kurikulum 2013. Menurut Nik Azis Nik Pa (dalam Lapono, N,
2008: 1-25) kontruktivisme merupakan pandangan bahwa manusia membangun
pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan, bukan
transfer pengetahuan dari manusia yang lain.
Secara epistemologis, pandangan ini menyatakan
bahwa untuk mengetahui kebenaran/hasil maka harus mengalami/mencari tahu dengan
menggunakan metode ilmiah (Ornstein & Levine, 2008: 163). Di dalam
pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) yang berlandaskan pada kontruktivisme, siswa dituntut untuk
dapat menemukan sendiri pengetahuan (materi yang dipelajari) dengan menggunakan
kegiatan-kegiatan seperti eksperimen, inquiry,
discovery, dan sebagainya. Di dalam
kegiatan-kegiatan tersebut siswa juga harus menerapkan metode ilmiah dan sikap
ilmiah yang sesuai dengan sintaks metode pembelajaran yang dipakai. Secara
aksiologis, pandangan ini menyatakan bahwa
nilai-nilai/kebenaran bersifat situasional atau relatif (Ornstein &
Levine, 2008: 163). Hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa kebenaran
saat ini belum tentu menjadi kebenaran di masa yang akan datang, dan fakta
kejadian saat ini juga belum tentu menjadi fakta pada kejadian lain. Pandangan
tersebut juga berlaku pada teori belajar kontruktivisme, yaitu bahwa
pengetahuan yang dibangun oleh individu tidak berlaku bagi individu yang lain
karena tiap individu membangun pengetahuannya masing-masing dengan cara mereka
sendiri. Secara logika, pandangan filosofis pragmatis lebih menekankan pada metode
berfikir induktif (Ornstein dan Levine, 2008:171) yaitu cara berpikir yang
bertolak dari hal-hal khusus yang kemudian digeneralisasikan dalam suatu
kesimpulan (dari khusus ke umum). Hal tersebut juga berlaku dalam
kontruktivisme pembelajaran yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit
untuk kemudian diperoleh pengetahuan secara umum dan utuh.
Dalam menjalankan tugas sebagai guru, landasan
tersebut tanpa sadar sudah saya terapkan ketika menyusun skripsi. Dalam
penelitian saya tersebut, saya merujuk pada pembelajaran yang berlandaskan pada
teori belajar kontruktivisme dengan menerapkan pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning melalui
metode eksperimen. Berawal dari skripsi kemudian saya mendalami pendekatan dan
teori belajar tersebut, dan hasilnya berlanjut ketika mengajar saya sangat senang
menerapkan beberapa metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pendekatan
pembelajaran kontekstual seperti eksperimen, discovery, inquiry,dan
sebagainya. Metode-metode tersebut sangat saya sukai karena dapat membangun
sikap ilmiah dan keterampilan siswa dalam melakukan langkah-langkah kerja
secara ilmiah. Setelah menempuh Mata Kuliah Landasan Pendidikan dan Pembelajaran
dalam perkuliahan di Pascasarjana UM ini, saya baru sadar bahwa selama ini saya
telah menganut pandangan filosofis pragmatis/eksperimental, dan pandangan
tersebut merupakan dasar dari teori belajar kontruktivisme dan pendekatan pembelajaran kontekstual (CTL) yang
saya anut.
3.
Setujukah Anda dengan pendidikan karakter pada
program Kurikulum 2013 ? Menurut pendapat Anda, apakah tantangan terbesar yang
harus diatasi oleh bangsa Indonesia agar program tersebut berhasil? Gunakan
analisis historis, psikologis, sosio-kultural, dan isu-isu mutakhir bidang
pendidikan dalam menjawab pertanyaan ini!
Saya sangat setuju dengan ide-ide pendidikan
karakter yang terkandung dalam program kurikulum 2013. Namun hal yang sulit
adalah ketika mengimplementasikan kurikulum tersebut. Kurikulum 2013 dirancang
untuk menjawab beberapa tantangan di antaranya.
1) Tantangan internal, yaitu
berdasarkan data pertumbuhan penduduk Indonesia dinyatakan bahwa antara tahun
2020-2035 pertumbuhan penduduk usia produktif bangsa Indonesia mencapai 70%.
(http://rimatrian.blogspot.com).
2)
Tantangan
eksternal bangsa Indonesia menurut Kemendikbud antara lain globalisasi; masalah
lingkungan hidup; kemajuan teknologi informasi; konvergensi ilmu dan teknologi;
ekonomi berbasis pengetahuan; kebangkitan industri kreatif dan budaya;
pergeseran kekuatan ekonomi dunia; pengaruh dan imbas teknosains; mutu,
investasi dan transformasi pada sektor pendidikan; hasil survei “Trends in
International Math and Science (TIMSS)" oleh Global Institute pada tahun
2007 yaitu hanya 5 persen siswa Indonesia yang mampu mengerjakan soal
berkategori tinggi yang memerlukan penalaran; programme for International
Student Assessment (PISA) yang di tahun 2009 yang menempatkan Indonesia di
peringkat 10 besar negara paling buncit dari 65 negara peserta PISA. Hal ini
menunjukkan bahwa prestasi siswa Indonesia terbelakang
(http://rimatrian.blogspot.com).
Di antara tantangan tersebut, yang merupakan tantangan
terbesar bangsa Indonesia dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 adalah
bagaimana memberikan bekal pada para generasi emas bangsa Indonesia agar dapat
mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Bekal yang mendasar yang dianggap penting
adalah pendidikan karakter, karena berdasarkan hasil survey oleh Global Institute di atas terlihat bahwa generasi bangsa
Indonesia kurang mampu dalam hal penalaran. Tantangan dalam mewujudkan
pendidikan karakter itu sendiri adalah bagaimana cara pendidik membangun peserta
didik agar memiliki hard skill dan soft skill yang terbungkus dengan
karakter yang luhur. Untuk menjawab tantangan tersebut perlu dikaji dalam
berbagai bidang secara holistik. Berdasarkan historis, bangsa Indonesia telah
mewariskan beberapa karakter luhur yang dimuat dalam landasan filosofis bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Di dalam Pancasila tergambar jelas nilai-nilai luhur
yang dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan karakter
bangsa yang sesuai dengan kepribadian bangsa, maka Pancasila seharusnya bukan
sekedar teori dalam pendidikan namun lebih menekankan pada prakteknya dalam
pendidikan. Secara Psikologis, bangsa
Indonesia sebenarnya telah terbentuk sebagai bangsa yang diberi julukan bangsa
yang ramah tamah oleh bangsa-bangsa di dunia, namun kenyataannya bangsa
Indonesia terlalu terbuai dengan sanjungan tersebut hingga melupakan apa makna
ramah tamah, dan bagaimana aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu perlu diberikan terapi-terapi untuk menyadarkan bahwa era sudah
berubah dan bangsa Indonesia telah tertinggal. Salah satu terapi yang saya
anggap efektif adalah melalui pengiriman pelajar ke luar negeri, kegiatan Home Stay di luar negeri, dan sebagainya
agar generasi bangsa ini tahu kenyataan sekarang. Dalam segi sosio-kultural bangsa Indonesia
yang terdiri dari berbagai suku bangsa sangat rentan terhadap isu-isu yang
berkaitan dengan ras, agama, etnik, dan lain sebagainya yang dapat
mengakibatkan rusaknya tatanan moral dan ketertiban bangsa. Untuk mengatasi hal
tersebut maka di Indonesia harus menerapkan pendidikan multikultural dengan
baik.
Menurut Djoro Djatum dalam acara TV Sang Guru di
Bloomberg TV Indonesia, dijelaskan bahwa pada tahun 2020-2035 tersebut
merupakan kesempatan emas bangsa Indonesia untuk bangun (take off) dari keterpurukan, dan jika pada tahun tersebut bangsa
Indonesia tidak mampu melakukannya atau terlambat melakukannya maka tidak akan
ada kesempatan lagi bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu segera
diwujudkan pendidikan karakter untuk mengurangi penyakit/keterpurukan bangsa
Indonesia di antaranya dalam hal korupsi yang tinggi, plagiatisme, narkoba,
perkelahian antar pelajar yang memberikan citra buruk bangsa Indonesia di mata
dunia. Untuk mewujudkannya perlu dikembangkan beberapa pendekatan, model dan
metode pembelajaran yang di dalamnya dapat membelajarkan pendidikan karakter tanpa
memaksakan seperti pada pendidikan karakter konvensional. Menurut saya pendekatan, model dan metode
yang tepat antara lain yaitu Contextual Teaching
and Learning, Problem Based Learning, Project Based Learning, Inquiry,
Discovery, Experiment, dan sebagainya.
Menurut Kohlberg (dalam
http://rimatrian.blogspot.com), pendidikan karakter konvensional yang memiliki
pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan
sebagainya yang menjadi landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak
membimbing siswa untuk memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti.
Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan
menggunakan pendekatan klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak
ada satu-satunya jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di
dalamnya ada nilai yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak
Posting Komentar untuk "LANDASAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DALAM PANDANGAN SAYA"