LANDASAN POLITIK PENDIDIKAN: IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA
LANDASAN POLITIK PENDIDIKAN: IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA
Politik berasal dari kata politea yang diperkenalkan oleh
Plato (347 SM) dengan makna segala hal mengenai negara kemudian dikembangkan
oleh Aristoteles (322 SM) yang bermakna suatu seni untuk mengurus dan mengatur
negara. Politik dipahami sebagai kegiatan suatu sistem negara yang dilakukan
untuk mencapai tujuan bersama. Pengertian politik menurut BN Marbun (dalam
MissNovy, 2012: http://missnovy.edublogs.org) adalah:
a. Politik sebagai segala
hal mengurus negara
b. Politik sebagai aneka
macam kegiatan dalam suatu negara menyangkut pengambilan keputusan yang
menyangkut tujuan negara maupun pelaksanaannya,
c. Politik sebagai suatu
kebijakan
d. Politik sebagai suatu
cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dikatakan politik merupakan Suatu cara
atau seni yang dipakai untuk mencapai tujuan bersama,berdasarkan keputusan dan
kebijakan yang telah diambil bersama.
2. Pengertian Landasan Politik Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan
saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung unsur- unsur
politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan
aspek- aspek kependidikan. Politik pendidikan nasional perlu ditata dalam suatu
organisasi yang efesien dan dikelola oleh yang profesional.
Politik pendidikan adalah suatu kebijakan dalam dunia pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan berdasarkan Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun
2003. Ranah politik dan
kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan peradaban bangsa ini. Tokoh liberalisme pendidikan asal
Amerika Latin, Paulo Freire (dalam Dwikurniosaputro, 2009: http://dwikurniasaputro.wordpress.com)
pernah menegaskan bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah
pembinaan dan pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan
memiliki nilai penting untuk menentukan kinerja pendidikan suatu
negara. Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja
pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya
bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Landasan politik pendidikan berfungsi untuk menetapkan kebijakan-kebijakan
dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Landasan politik pendidikan memiliki implikasi terhadap pelaksanaan
pendidikan di Indonesia. Praktik pendidikan di
Indonesia berubah-ubah seiring dengan perubahan kebijakan politik
yang diambil pemerintah di berbagai masa kepemerintahannya. Dimulai dari
pelaksanaan pendidikan pada masa penjajahan hingga kini pada era reformasi.
Berikut ini implikasi landasan politik terhadap pendidikan di Indonesia dari
masa ke masa:
a. Pendidikan pada Masa Penjajahan Belanda
Pendidikan pada masa penjajahan Bangsa Belanda dipetakan dalam 2 periode
besar yaitu pada masa VOC dan masa pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan
pada masa VOC (sebuah kongsi perusahaan dagang) tidak lepas dari kepentingan
komersial dan memiliki ciri khas profil guru umumnya adalah guru agama
(Kristen) dan dikendalikan oleh kalangan gereja.
Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1) Pendidikan Dasar
Dibagi dalam 3 kelas berdasarkan peringkatnya. Kelas 1 (tertinggi)
diberikan pelajaran membaca dan menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2
tidak ada pelajaran berhitung. Kelas tiga fokus pada alfabet dan mengeja kata –
kata. Contoh sekolahnya adalah Bataviasche School dan Burgerschool.
2) Sekolah Latin
Dilakukan dengan sistem in de kost di rumah pendeta.
3) Sekolah Seminari
Sekolah untuk mendidik calon – calon pendeta, dibagi dalam 4 kelas
berjenjang yaitu kelas 1 belajar membaca, menulis, agama dan bahasa Belanda,
Melayu dan Portugis. Kelas 2 pelajarannya ditambah dengan bahasa Latin. Kelas 3
ditambah bahasa Yunani dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya.
Sedangkan kelas 4 materinya pendalaman oleh kepala sekolah. Sistem
pendidikannya model asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari. Ditutup tahun
1755.
4) Akademi Pelayaran
Untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan masa studi 6 tahun. Materinya
meliputi pelajaran matematika, bahasa latin, bahasa melayu, Malabar dan Persia,
pelajaran navigasi, menulis, menggambar, agama, ketrampilan naik kuda, anggar,
dan dansa. Ditutup tahun 1755.
5) Sekolah China
Didirikan untuk keturunan China yang miskin, ditutup karena ada
peristiwa de chineezenmoord (pembunuhan China)
6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim dan VOC tidak ikut campur mengurusinya.
Pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda relatif lebih maju dengan prinsip – prinsip sebagai berikut:
1) Tidak memihak pada satu
agama tertentu.
2) Membuat anak didik
mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kolonial
3) Sistem pendidikan diatur
menurut pembedaan kelas sosial.
4) Pendidikan diukur dan
diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk
mendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.
5) Penyerahan pengelolaan
pendidikan pada negara bukan lagi pada lembaga keagamaan (gereja).
Contoh Sekolahnya adalah sekolah artileri di Jatinegara, sekolah pelayaran
di Semarang, sekolah bidan di Jakarta dan Sekolah Tari di Cirebon. Gubernur
Jendral Daendels adalah tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar
mengusahakan pendidikan bagi pribumi yang dilanjutkan oleh gubernur Jendral
Janssens. Pada masa Gubernur Jendral Van Deventer, pemerintah Hindia Belanda
menerapkan politik Etis dengan prinsip:
1) Bahasa Belanda
diupayakan sebagai bahasa pengantar pendidikan.
2) Pendidikan rendah bagi
pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Pemerintah Hindia Belanda masih
menerapkan sekolah berdasarkan strat fikasi social yang terbagi menjadi 3
golongan sebagai berikut:Golongan Eropa, Golongan Bumiputera, Golongan timur
asing.
Untuk golongan pribumi stratifikasi sosialnya adalah Aristokrat, ulama dan
rakyat biasa. Contoh sekolahnya adalah sebagai berikut: Sekolah dengan
pengantar bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan bahasa pengantar
bahasa daerah ( IS, VS, Vgs), sekolah Lanjutan (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan
Kejuruan. Pendidikan pada masa ini diprioritaskan bagi anak kolonial dan bangsawan,sedangkan
anak bumi putera hanya mengecap pendidikan seadanya ,karena dipersiapkan untuk
menjadi pegawai pemerintah rendahan.
Akhirnya terjadi kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris sehingga Hindia Belanda dikelola oleh Inggris dibawah Gubernur Jendral Raffles selama 5 tahun.
Akhirnya terjadi kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris sehingga Hindia Belanda dikelola oleh Inggris dibawah Gubernur Jendral Raffles selama 5 tahun.
b. Pendidikan pada Masa Penjajahan Inggris
Inggris tidak menaruh perhatian besar pada pendidikan tapi mereka berminat
melakukan eksplorasi ilmiah sehingga muncullah karya fenomenal seperti:
1) History Of Java Karya Raffles
2) Sejarah Sumatra
3) Kamus Melayu dan
Pelajaran bahasa Melayu karya Marsden
4) Java Government Gazettes
tentang ilmu pengetahuan daerah dan penduduk
5) Kajian Botani oleh
Horsfield
6) Kajian kepemilikan Tanah
oleh Colin McKenzie
c. Pendidikan pada Masa Penjajahan Jepang
Jepang memulai penjajahan di Indonesia dengan konsep Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya dan Semboyan Asia Untuk Bangsa Asia. Jepang mengelola
pendidikan di Indonesia saat itu dengan motif untuk mendukung kemenangan
politik.Kebijakan Pendidikannya diterapkan dengan cara:
1) Penghapusan semua
penggunaan bahasa Belanda dan menggantinya dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar.
2) Dihapuskannya sistem
pendidikan berdasarkan kasta.
3) Mengakomodasi kurikulum
berorientasi lokal.
4) Menutup sekolah –
sekolah Belanda.
5) Melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan
Sedangkan sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang yaitu:
1) Pendidikan Dasar
(Kokumin Gakko) dengan masa studi 6 tahun.
2) Pendidikan lanjutan yang
terdiri dari Shoto Chu Gakko (SMP) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(SMA) dengan lama studi 3 tahun.
3) Pendidikan Kejuruan.
4) Pendidikan Tinggi
Selain itu Jepang juga melatih guru – guru untuk dengan materi – materi
yaitu:
1) Indoktrinasi ideologi
Hakko Ichiu
2) Nipon Seisyin (Latihan
Kemiliteran semangat Jepang)
3) Bahasa, sejarah dan adat
istiadat Jepang.
4) Ilmu bumi dengan
perspektif geopolitik.
5) Olahraga dan nyanyian
Jepang
Selain itu untuk pembinaan kesiswaan Jepang mewajibkan siswa untuk
melakukan:
1) Menyanyikan lagu
kebangsaan Jepang Kimigayo setiap hari.
2) Mengibarkan bendera
Jepang Hinomura.
3) Menghormati kaisar
Jepang Tenno Heika.
4) Dai toa bersumpah setia
dengan cita – cita Asia Timur Raya.
5) Taisho (senam jepang).
6) Bahasa Jepang wajib
dipelajari.
7) Penggunaan bahasa
Indonesia.
8) Latihan fisik militer
d. Pendidikan pada Masa Orde Lama (tahun 1954 – 1966):
Pada masa itu penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan
ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang itu karena masa tersebut adalah masa
krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada
separatisme dan tarik ulur antara pihak yang sekuler dan agamis. Implikasinya
dari kebijakan politik pendidikan saat itu adalah terbentuknya masyarakat yang
berjiwa nasionalis dan berpatriot Pancasila. Kebijakan tersebut sejatinya
berupaya menjadi solusi cerdas dengan mengakomodasikan semua kepentingan.
Disini terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman budaya, seni dan agama. Pada
dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil hanya
saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara
selalu ada di masa itu.
e. Pendidikan pada Masa Orde Baru (tahun 1966 – 1998)
Pendidikan pada masa orde baru dimulai dengan dikeluarkannya undang-undang
sistem pendidikan di tahun 1989. Berbeda dengan kebijakan di era orde lama,
kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan
birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan
dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga
menjadi kader-kader yang selalu patuh buta terhadap kepentingan pusat.
Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif
dan daya inovatif. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme.
Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba melemah
ketika masuk pada jalur birokrasi. Disadari bahwa sistem pendidikan nasional
pada masa itu sebab kuatnya intervensi kekuasaan sangat mewarnai di setiap
aspek pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat
dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan.
Beberapa pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi pendidikan pada
umumnya lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Di era ini pula
terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan
kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah
mati. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna
berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu semboyan yang
seragam.
f. Pendidikan pada Masa Reformasi (tahun 1998 – sekarang)
Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Pada masa reformasi ini penekanannya
terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak
di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan memberi kewenangan
daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up. Bagi
dunia pendidikan pada era reformasi ini banyak potensi untuk diselewengkan
dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.
Demokrasi telah
menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin
sulit mengakses pendidikan tinggi. Sistem evaluasi yang masih terpusat,
kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan
semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi
ini. Kebijakan politik yang paling di sorot pada masa ini adalah
kebijakan- kebijakan tentang otonomi daerah dalam bidang pendidikan, penerapan
kurikulum yang berganti-ganti, hingga yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan pro dan kontra yang terjadi pada
pelaksanaan Ujian Nasional. Realitas Dunia Pendidikan pada era reformasi,
antara lain:
1) Otonomi Daerah Dalam
Bidang Pendidikan
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada
hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan,
yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah
untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu
masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi bidang pendidikan dimulai dengan keluarnya UU No.22/1999
tentang Pemerintah Daerah dan kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 20
tentang Perimbangan Keuangan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang
sektor-sektor yang didesentralisasikan dan yang tetap menjadi urusan Pemerintah
Pusat. Pendidikan termasuk salah satu sektor yang didesentralisasikan, sehingga
sejak itu pendidikan terutama dari TK sampai dengan SMA menjadi urusan
kabupaten/kota. Sedangkan pendidikan tinggi menjadi urusan Pemerintah Pusat dan
Provinsi..
Sejak urusan pendidikan didesentralisasikan, sinyal-sinyal adanya banyak
masalah baru sudah tampak. Masalah tersebut antara lain: tarik menarik
kepentingan untuk urusan guru serta saling lempar tanggung jawab untuk
pembangunan gedung sekolah. Pengelolaan guru menjadi tarik menarik, karena
jumlahnya yang banyak, sehingga banyak kepentingan politik maupun ekonomi yang bermain
di dalamnya. Sedangkan pembangunan gedung sekolah, utamanya gedung SD menjadi
lempar-lemparan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda karena
besarnya dana yang diperlukan untuk itu. Sementara di lain pihak, baik
Pemerintah Pusat maupun Pemda sama-sama mengeluh tidak memiliki dana.
2) Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan angin segar bagi dunia
pendidikan dasar dan menengah. KTSP dimaknai sebagai kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Ini berarti
satuan pendidikan tertantang untuk menterjemahkan standar isi yang ditentukan
oleh Depdiknas. Bahkan diharapkan sekolah mampu mengembangkan lebih jauh
standar isi tersebut.
Meskipun sekolah diberi kelonggaran untuk menyusun kurikulum, namun tetap
harus memperhatikan rambu-rambu panduan KTSP yang disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Hal ini diharapkan agar selalu ada sinkronisasi
antara standar isi dan masing-masing KTSP.
Dalam prakteknya, peluang ini juga akan menghadapi kendala yang tidak
ringan, Pertama, belum semua guru atau bahkan kepala sekolah
mempunyai kemampuan untuk menyusun kurikulum. Kedua, semua komite
sekolah atau bahkan orang Depdiknas belum memahami tatacara penyusunan sebuah
kurikulum yang baik. Ketiga, kebingungan pelaksana dalam
menerjemahkan KTSP.
Sudah sering dikemukakan oleh berbagai kalangan, ketidaklogisan KTSP
terjadi karena seolah diberikan kebebasan untuk mengolaborasikan kurikulum inti
yang dibuat Depdiknas, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah dengan melalui
Ujian Nasional (UN) justru yang paling menentukan kelulusan siswa.
3) Ujian Nasional
Kebijakan pemerintah melaksanakan Ujian Nasional selalu menghadirkan pro
dan kontra. Bagi yang sependapat UN merupakan wahana untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dasar dan menengah di negeri ini. Sementara bagi yang
kontra, UN justru akan membebani siswa dalam belajar. Bahkan menjadi hantu yang
menakutkan dan kemungkinan besar justru mematikan potensi anak.
Lepas dari setuju tidak setuju, UN sebenarnya diperlukan dalam memotret
pemetaan kualitas satuan pendidikan nasional. Namun yang sering dikeluhkan
ketika UN dijadikan alat vonis penentuan kelulusan sehingga banyak yang
berpendapat bahwa pelaksanaan UN tidak adil karena suka duka siswa dalam
belajar selama tiga tahun hanya ditentukan nasibnya selama tiga hari
pelaksanaan UN.
Kontroversi mengenai ujian nasional (UN) kebijakan ini dengan jelas
menggambarkan betapa lemahnya visi pemerintah dalam kebijakan pendidikan selama
ini. Visi adalah sebuah jangkauan terpanjang dari apa yang hendak dicapai dan
dituju. Jika suatu kebijakan hanya diarahkan semata-mata untuk mengejar target,
maka visi pendidikan menjadi tida jelas.
Selama ini UN sering dijadikan sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara
substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin
terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak
terpuji seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan kecurangan-kecurangan lain
yang dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas sekolah maupun daerah.
Posting Komentar untuk "LANDASAN POLITIK PENDIDIKAN: IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA"