Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg
Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg
Pengertian Moral
“Secara etimologis, kata moral berasal dari kata ‘mos’ dalam bahasa lati, yang bentuk jamaknya ‘mores’, yang artinya adalah tata cara atau adat istiadat (http//:staff.uny.ac.id). Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:592), “moral diartikan sebagai aklak, budi pekerti, atau susila”.
Secara terminologis, terdapat berbagai pendapat tentang pengertian moral yang dilihat dari segi subtansi materilnya memang tidak Nampak perbedaan, namun dalam bentuk formalnya berbeda. Widjaja (dalam http//:staff.uny.ac.id) menyatakan, bahwa moral adalah ajaran baik atau buruknya suatu perbuatan. Al-Ghazali (dalam http//:staff.uny.ac.id), mengemukakan bahwa akhlak padanan dari kata moral merupakan suatu watak yang melekat erat dalam diri manusia dan merupakan asal dari timbulnya suatu perbuatan tertentu dari diri manusia.
Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Darueso (dalam http//:staff.uny.ac.id) merumuskan pengertian moral secara komprehensif rumusan formalnya sebagai berikut:
a. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
b. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
c. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.
Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial. Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada mereka tentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous. Sebelum mempelajari perbedaan kedua tahap tersebut berikut ini akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan pengamatan Piaget terhadap anak-anak yang sedang bermain kelereng.
A. Pengembangan aturan permainan
Sebelumnya telah dibahas bahwa Piaget mencoba mempelajari tingkah laku anak melalui permainan kelereng. Hal itu dilakukan Piaget untuk memahami bagaimana anak-anak berpikir dan menyesuaikan konsepsinya mengenai aturan-aturan yang berlaku. Jean Piaget memilih permainan kelereng, selain untuk memperoleh jawaban atas penelitiannya, juga untuk memberikan kebebasan anak-anak untuk menjelaskan dan membuat aturan sendiri. Dari hasil wawancaranya dengan anak-anak pada tingkat usia yang berbeda, diperolehlah jawaban yang berbeda-beda pula.
Berikut ini hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:28), diketahui bahwa:
a. Anak-anak disekitar usia 3 tahun, belum mengembangkan permainannya sendiri dan cenderung bermain individual tanpa kerjasama. Anak-anak pada usia ini cenderung menerima aturan tanpa proses pertimbangan terlebih dahulu.
b. Anak-anak usia 3-5 tahun, mulai bermain secara berkelompok, meskipun masing-masing anak masih menganggap pendapatnya yang paling benar. Anak-anak ini belum memiliki empati dan belum mampu menempatkan diri dalam pergaulan. Anak-anak pada usia ini cenderung memperhatikan aturan yang berasal dari orang dewasa, meskipun pada usia ini mereka sering melanggar aturan tersebut.
c. Anak usia 7-8 tahun, mulai muncul perhatian untuk menyeragamkan aturan permainan meskipun aturan permainannya umumnya masih belum jelas (kabur).
d. Anak usia 11-12 tahun, mulai dapat menentukan dan membuat kesepakatan bersama tentang aturan permainan. Anak sudah dapat melihat bahwa aturan sebagai suatu yang bisa diubah dan dibuat berdasarkan kesepakatan.
B. Intensi dan konsekuensi
Konsepsi anak tentang aturan dapat berubah-ubah sesuai dengan tahap perkembangan moralnya. Untuk memahami perubahan konsepsi yang terjadi, Piaget menghadapkan anak pada masalah-masalah moral seperti berbohong.Dari hasil penelitiannya, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:31)menyatakan, bahwa anak-anak dengan usia lebih muda cenderung menilai suatu perbuatan berdasarkan konsekuensi yang hanya bersifat material. Anak-anak dengan usia yang lebih tua berpikir sebaliknya, mereka sudah mampu memperhatikan intensi kesalahan yang muncul dari suatu perbuatan.
Intensi dan komsekuensi merupakan gambaran perubahan perkembangan moral dari tahap heteronomous ke tahap autonomous. Dalam mengetahui pendapat anak tentang makna berbohong, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:32) melakukan tanya jawab dengan anak-anak. Pada tanya jawab itu, diperolehlah hasil bahwa anak-anak yang lebih muda usianya memberi makna bahwa bohong sesuatu yang jelek dan tidak seorangpun sanggup mengatakannya. Anak-anak yang usianya lebih tua memberi makna bohong adalah sesuatu yang tidak dapat dipercaya dan tidak baik untuk diucapkan.
C. Hukuman-hukuman ekspiatoris dan resiprokal
Melalui cerita-cerita sederhana yang berhubungan dengan pelanggaran dalam keluarga, yaitu antara orang tua dan anak, Piaget mencoba untuk mengidentifikasi konsepsi anak-anak mengenai keadilan. Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengklasifikasikan hukuman ke dalam dua bentuk, yaitu hukuman-hukuman yang bersifat ekspiatoris (expiatory punishment) dan hukuman-hukuman yang bersifat resiprositas (reciprocity punishment).
Hukuman yang bersifat ekspiatoris, Sherwood (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:33) mengemukakan, bahwa hukuman harus atas pertimbangan yang wajar antara bobot kesalahan dan juga bobot penderitaan si pelanggar atas hukuman yang ditimpakan. Contoh hukuman ekspiatoris dalam keluarga antara lain memukul, menampar, tidak memberi uang jajan, dilarang bermain untuk sementara waktu, dan sebagainya. Hukuman yang bersifat resiprositas (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34) senantiasa membuat keterkaitan antara hukuman dengan tindakan kesalahan yang dibuat. Melalui hal tersebut, diharapkan si pelanggar sadar akan akibat-akibat perbuatannya. Bentuk hukuman resiprositas dapat berupa ganti rugi dan pengucilan.
Berdasarkan hasil pengamatan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:34), diketahui bahwa hukuman resiprositas dikembangkan oleh anak-anak yang tingkat perkembangan moralnya pada tahap Autonomous. Dari 100 anak yang diwawancarai, Piaget mencatat bahwa anak pada usia 6-7 tahun 30% memilih hukuman ini, anak pada usia 8-10 tahun mencapai 50% memilih hukuman ini, dan anak pada usia 11-12 tahun mencapai 80% memilih hukuman ini. Sebaliknya, hukuman ekspiatoris dipilih anak-anak yang perkembangan moralnya pada tahap heteronomous. Anak-anak pada tingkat usia ini, percaya bahwa keadilan selalu berhubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan seseorang, dan orang tersebut akan memperoleh hukuman atas kesalahannya tersebut secara alamiah.
D. Antara Equality dan Equity
Membahas mengenai keadilan, Piaget menekankan pada dua bentuk keadilan distributif yaitu equality dan equatity. Menurut pandangan Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:35), equality yaitu pemikiran bahwa tiap manusia harus diperlakukan secara sama, sedangkan equity yaitu pemikiran yang lebih mempertimbangkan tiap-tiap individu.
Untuk mengamati perbedaan kedua bentuk keadilan distributif tersebut, Piaget mengangkat masalah-masalah ke dalam sebuah cerita untuk mengetahui respon anak-anak berdasarkan tingkat usianya. Dari respon-respon yang muncul, Piaget (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:36) membedakan respon tersebut ke dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap Just, di mana anak berpikir bahwa apa yang dikatakan orang dewasa adalah ibarat hukum yang harus dijalankan.
2. Tahap Equality Orientation, di mana anak berpikir bahwa tidak peduli saat menghadapi hukuman ataupun sedang menolak perintah, mereka akan lebih melihat kekuasaan tertinggi.
3. Tahap Equity Dominates, di mana anak berpikir bahwa equalitas (perlakuan sama) tidak akan pernah dikembangkan tanpa memperhatikan situasi yang dihadapi tiap individu.
Berdasarkan pembahasan dan penjabaran di atas, Piaget (dalam Slavin, 2006:52), menyimpulkan bahwa terdapat dua tahap perkembangan moral dengan ciri-cirinya masing-masing,yaitu sebagai berikut:
Tabel Tahap Perkembangan Moral Piaget
Tahap heteronomous
(tahap realisme moral)
Anak usia <12 tahun
Tahap Autonomous
(tahap independensi moral)
Anak usia >12 tahun
Diberi label tahap moralitas kendala
Diberi label tahap moralitas kerjasama
Aturan dipandang sebagai paksaan dari orang yang lebih dewasa
Aturan dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama
Menilai perilaku moral berdasarkan konsekuensinya
Menilai perilaku moral berdasarkan niat pelakunya
Hukuman dipandang sebagai konsekuensi otomatis dari pelanggaran
Hukuman dipandang sebagai sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh niat pelakunya
Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
1. Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan.
Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b. Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.
3. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Pengaruh Teori-Teori Perkembangan Menurut Piaget dan Kohlberg dalam Dunia Pendidikan
Dalam teori Piaget, disimpulkan bahwa pendidikan sekolah seharusnya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Pembinaan perkembangan moral dilakukan dengan cara-cara yang menuntut siswa untuk mengembangkan aturan yang adil. Pendidikan nilai menitikberatkan kepada pengembangan perilaku yang dilandasi oleh penalaran moral dalam kehidupan masyarakat (http://iwansukmanuricht.blogspot.).
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak (http://iwansukmanuricht.blogspot.com).
Daftar Rujukan:
Cahyono, C.H & Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Malang: IKIP Malang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Manning, S.A. 1977. Child And Adolescent Development. Washington, D.C: Departement of Psychology University of the District of Columbia.
Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins University.
Universitas Negeri Yogyakarta. Dasar-Dasar Pengertian Moral. (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf), diakses 10 September 2013.
Alhamdulillah dengan makalah ini bertambah pengetahuan wawasan saya
BalasHapus