LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psiche dan logos. psiche yang
memiliki arti jiwa, sukma, dan roh, sedangkan logos berarit
ilmu. Psikologi secara harfiah diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mengenai
jiwa seseorang. Psikologi mempelajari mengenai manusia secara umum maupun
secara pribadi/lebih khusus.
Saat di sekolah tentu saja sering ditemui siswa yang memiliki karakteristik
yang sangat beragam, bukan hanya perbedaan pada fisik, tingkat kecerdasan
ataupun bakat, namun juga meliputi perbedaan pengalaman, tingkat perkembangan
siswa, cita-cita ataupun perbedaan kepribadian secara
keseluruhan. Siswa yang memiliki perbedaan tersebut tentunya
tidak dapat diperlakukan sama dalam kegiatan pembelajaran. Pemahaman
siswa oleh pendidik sangat penting dikuasai untuk memahami tingkat pertumbuhan
dan perkembangan peserta didik.
Pemahaman akan perkembangan siswa diharapkan dapat mengatasi atau
meminimalisir berbagai permasalahan yang di temui mengenai peserta didik dalam
pembelajaran.
Dengan demikian, psikologi adalah salah satu landasan pokok dari
pendidikan. Antara psikologi dengan pendidikan merupakan satu kesatuan yang
sangat sulit dipisahkan. Subjek dan objek pendidikan adalah manusia, sedangkan
psikologi menelaah gejala-gejala psikologis dari manusia. Dengan demikian
keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dalam proses dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pendidikan peranan
psikologi menjadi sangat mutlak. Analisis psikologi akan membantu para pendidik
memahami struktur psikologis anak didik dan kegiatan-kegiatannya, sehingga
dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan secara efektif (Yusuf, 2000:2).
Masalah yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu apakah landasan psikologis itu
dan apakah psikologis perkembangan, psikologis belajar, psikologis sosial,
kesiapan belajar dan aspek-aspek individu, dan implikasi psikologi dalam konsep
Pendidikan.
B. Pengertian Landasan
Psikologis dalam Pendidikan
Psikologi sebagai sebuah
landasan dalam pendidikan adalah bahwa dalam pelaksanaan pendidikan haruslah
menerapkan unsur-unsur psikologis karena yang menjadi sasaran pendidikan
tersebut adalah manusia. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraannya,
pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia. Untuk memahami
berbagai karakteristik siswa yang beragam maka diperlukan psikologi dalam
pendidikan. Pendidikan memposisikan manusia sebagai objek dan subjeknya
sehingga sangat diperlukan psikologi sebagai landasan pendidikan.
Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu
yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan
mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Jiwa manusia
berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan
aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu
landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang
kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek
pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali
dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan
untuk memudahkan proses pendidikan.
C. Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan.
Pendekatan-pendekatan tersebut menurut Nana Syaodih (dalam Pidarta. 2009)
antara lain:
1. Pendekatan pentahapan.
Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap
tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap
yang lain.
2. Pendekatan diferensial.
Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok–kelompok.
Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah
kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial
ekonomi, dan sebagainya.
3. Pendekatan ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja
disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara
individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah
pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada dua macam yaitu bersifat
menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek
perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap
perkembangan, sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor
tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya
pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Menurut Crijns (dalam Sudarta.2009:198) periode atau tahap perkembangan
manusia secara umum adalah sebagai berikut :
1. Umur 0 – 2 tahun disebut
masa bayi, pada masa ini sebagian dimanfaatkan untuk tidur, memandang,
mendengar, kemudian belajar merangkak,dan berbicara.
2. Umur 2 – 4 tahun disebut
masa kanak-kanak, pada masa ini sudah mulai berjalan, sudah mulai dapat melihat
struktur, permainan mereka bersifat fantasi, dan anak masih memiliki
egosentris.
3. Umur 5 – 8 tahun disebut
masa dongeng, pada masa ini anak sudah merasa mempunyai kedudukan tersendiri,
mulai melakukan tindakan-tindakan konstruktif, kesadaran lingkungan sudah
muncul, namun objektivitas ini masih dipengaruhi oleh subjektivitasnya sendiri
sehingga is menyukai dongeng.
4. Umur 9 – 13 tahun
disebut masa Robinson Cruose. Pada masa ini mulai berkembang pemikiran kritis,
nafsu persaingan, minat-minat dan bakat
5. Umur 13 tahun disebut
masa pubertas pendahuluan, pada masa ini anak tertuju pada dirinya sendiri,
mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun, mudah tersinggung, sesama
jenis kelamin ingin sama-sama tahu, namun masih canggung.
6. Umur 14 – 18 tahun
disebut masa puber, pada masa ini anak sudah mengetahui akan tanggung jawab,
sadar akan hak dan kewajiban dalam lingkungan.
7. Umur 19 – 21 tahun
disebut masa adolesen, pada masa ini anak-anak pada masa ini mulai menemui
keseimbangan, mereka sudah punya rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang
sudah dipastikannya, namun mereka masih belum berpengalaman.
8. Umur 21 tahun ke atas
disebut masa dewasa, pada masa ini remaja mulai insaf dan memahami bahwa
pekerjaan manusia tidak mudah dan adanya ketidaksempurnaan
Perkembangan tersebut merupakan periode perkembangan secara umum.
Artinya ada saja dalam perkembangan anak atau remaja yang dapat menyimpang dari
perkembangan tersebut. Sementara Psikologi perkembangan menurut Rouseau
(dalam Pidarta.2009: 198) membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu
:
1. Masa bayi dari 0 – 2
tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2. Masa anak dari 2 – 12
tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif.
3. Masa pubertas dari 12 –
15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
4. Masa adolesen dari 15 –
25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Pada masa
ini anak sudah mulai belajar berbudaya.
Sementara menurut Havinghurst (dalam Pidarta.2009: 199) fase-fase
perkembangan disusun sebagai berikut:
1. Tugas perkembangan masa
anak-anak
Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan
gerakan badan, mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas
fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar
menghubungkan diri secara emosional dengan orang-orang lain, serta belajar
membedakan yang benar dan yang salah.
2. Tugas perkembangan masa
anak
Belajar keterampilan fisik untuk keperluan bermain, membentuk
sikap diri sendiri, belajar bergaul secara rukun, mempelajari peran jenis
kelamin sendiri, belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung,
menghitung, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan.
3. Tugas perkembangan masa
remaja
Membuat hubungan hubungan baru yang lebih matang dengan teman
sebaya dari kedua jenis kelamin, memperoleh peranan sosial yang cocok dengan
jenis kelamin, mendapatkan kebebasan diri dari ketergantungan pada orang lain,
mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan
perilaku tanggung jawab dan memperoleh sepeangkat nilai serta etika sebagai
pedoman berperilaku.
4. Tugas perkembangan masa
dewasa awal
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri,
memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak,
mengendalikan rumah tangga, belajar bertanggung jawwab sebagai warga Negara.
5. Tugas perkembangan masa
setengah baya
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga Negara yang baik,
membina anak remaja agar menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab serta
bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina
hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan
perubahan fisik diri sendiri dan menyesuaikan diri dengan pertambahan umur.
6. Tugas perkembangan orang
tua
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan
kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena
pensiun, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial
sebagai warga Negara yang baik dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Beberapa paparan diatas merupakan beberapa pandangan psikologi
perkembangan secara umum, secara lebih khusus psikologi perkembangan dapat
dikelompokkan dalam beberapa tahap. Menurut Piaget (dalam Slavin.2006:34) yang
menekankan pada tingkat perkembangan khusus berupa kognitif.
Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
1. Periode sensorimotor
pada umur 0 – 2 tahun, kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks.
2. Periode praoperasional
pada umur 2 – 7 tahun, perkembangan bahasa sangat pesat, peranan intuisi dalam
memutuskan sesuatu masih besar.
3. Periode operasi konkret
pada umur 7 – 11 tahun, anak sudah bisa berpikir logis, sistematis, dan
memecahkan masalah yang bersifat konkret.
4. Periode operasi formal
pada umur 11 – 15 tahun, anak-anak sudah dapat berpikir logis terhadap masalah
baik yang konkret maupun yang abstrak, serta dapat membentuk ide-ide dan masa
depannya secara realistis.
Sementara hal yang masih bertalian dengan perkembangan
kognitif Piaget tersebut yaitu menurut Bruner (dalam
Pidarta.2009:202) sebagai berikut.
1. Tahap enaktif, anak
melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
2. Tahap ikonik, anak
memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
3. Tahap simbolik, anak
telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Sementara Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi atas dasar
teori Piaget. Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
1. Tingkat Prekonvensional
a. Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan,
ditentukan oleh orang itu dihukum
atau tidak.
b. Tahap orientasi egois yang naïf, seperti tindakan yang betul ialah yang
memuaskan kebutuhan seseorang.
2. Tingkat Konvensional
a. Tahap orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik adalah bila
disenangi
orang lain.
b. Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma sosial, seperti perilaku
yang baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok atau bangsa.
3. Tingkat
Post-Konvensional
a. Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti
standar masyarakat dan
mengkonstruksi aturan baru.
b. Tahap orientasi prinsip etika universal, yaitu tindakan yang melatih
kesadaran mengikuti keadilan dan
kebenaran universal.
Dalam aspek afeksi, Erikson (dalam Salvin.2006:49) mencoba menyusun
perkembangannnya. Perkembangan tersebut antara lain:
1. Bersahabat (trust)
vs menolak (mistrus) pada umur 0 -1 tahun
2. Otonomi (autonomy)
vs malu dan ragu-ragu (doubt) pada umur 1 -3 tahun
3. Inisiatif (initiative)
vs perasaan bersalah (guilt) pada umur 3 -5 tahun
4. Perasaan Produktif (Industry)
vs rendah diri (inferiority) pada umur 6 -11 tahun
5. Identitas (Identity)
vs kebingungan (role confusion) pada umur 12 – 18 tahun
6. Intim (intimacy)
vs mengisolasi diri (isolation) pada umur 19 – 25 tahun
7. Generasi (generativity)
vs kesenangan pribadi (self absorption) pada umur 25 – 45
tahun
8. Integritas (integrity)
vs putus asa (despair) pada umur 45 tahun ke atas
Sementara Gagne (dalam Pidarta.2009:207) menjelaskan perkembangan
kemampuan belajar, perkembangan tersebut sebagai berikut.
1. Multideskriminasi, yaitu
belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dengan d.
2. Belajar konsep, yaitu
belajar membuat respons sederhana, seperti huruf hidup, huruf mati, dan
sebagainya.
3. Belajar prinsip, yaitu
mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
4. Pemecahan masalah, yaitu
belajar mengkombinasikan dua atau lebih prinsip untuk memperoleh sesuatu yang
baru.
Pembahasan mengenai psikolologi perkembangan, yang mencakup
perkembangan umum, kognisi, moral, afeksi, dan kemampuan belajar dapat
memberikan petunjuk yang sangat berharga kepada guru dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran. karena itu guru harus paham akan perkembangan
tahap-tahap tersebut agar dapat membantu peserta didik melalui perkembangannya
secara optimal pada segala jenjang pendidikan di sekolah
D. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2009:206) belajar adalah perubahan perilaku yang
relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh
obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta
mampu mengomunikasikannya kepada orang lain. Secara psikologis, belajar dapat
didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya
dengan lingkungan” (Slameto dalam Nuzulia.2011)
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk
mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar, sedangkan
perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil belajar.
Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal
yaitu proses belajar dan hasil belajar.
Baca: Apa Landasan Filosofis Anda? Pandangan Pragmatis
Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan
pola-pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi
prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut
dengan Teori Belajar.
Dalam prosesnya,menurut Gagne (dalam Pidarta.2009:206) ada
prinsip-prinsip belajar yang perlu diperhatikan, anatara lain:
1. Kontinguitas (memberi
situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidikan tentang respon anak
diharapkan).
2. Pengulangan
(situasi dan respon anak di ulang-ulang).
3. Penguatan (respon yang
benar contoh di beri penguatan untuk mempertahankan respon itu).
4. Motivasi positif dan
percaya diri dalam belajar.
5. Tersedia materi
pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak-anak,
6. Ada upaya membangkitkan
keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar.
7. Ada strategi yang tepat
untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar.
8. Aspek-aspek jiwa anak
harus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam pengajaran.
Ada sejumlah teori belajar yang dapat dibuat secara sistematik,
(Callahan dalam Sudarta.2009; 207) teori-teori tersebut antara lain:
1. Teori Belajar Klasik
a. Disiplin Mental
Theistik, menurut teori ini anak memiliki sejumlah daya mental
pikiran, seperti pikiran, ingatan, perhatian, observasi, tanggapan dan
sebagainya. Dan daya tersebut dapat ditingkatkan melalui latihan
b. Disiplin Mental
humanistis Plato dan Aristoteles, apabila daya tersebut dilatih akan dapat
mempermudah memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
c. Naturalis (Rousseau),
memandang setiap anak memiliki sejumlah potensi atau kemampuan, dan kemampuan
tersebut dikembangkan oleh anak-anak itu sendiri, bukan dari bantuan guru atau
orang lain.
d. Apersepsi, teori ini
memandang jiwa manusia merupakan suatu struktur. Struktur bisa berubah jika
manakala orang tersebut belajar.
Teori belajar klasik masih digunakan dalam hal-hal tertentu, misalkan
bermanfaat untuk melatih anak secara dril dalam melatih anak dalam menguasai
perkalian dibawah 100.
2. Teori Belajar Modern
a. Teori belajar R-S Bond
atau Asosiasi (Thorndike), belajar terjadi jika apabila ada kontak dengan
benda-benda yang ada di luar mereka.
b. Pengondisian
(conditioning) Instrumental (Pavlov), belajar menurut mereka adalah masalah
melekatkan atau menguatkan respons yang benar dan menyisihkan respons yang
salah akibat pemberian hadiah dan tidak dihiraukan konsekuensi respons yang
salah (Pidarta.2009:213)
c. Pengondisian
(Konditioning) Operan (Skinner), menurut teori ini seseorang yang menerima
stimulus akan melakukan respons. Respons ini dapat sesuai dengan harapan orang
yang memberi stimulus, dapat pula tidak sesuai.
d. Penguatan
(reinforcement) (Hull), tori ini memberikan respons-respons yang benar atau
sesuai harapan.
e. Kognisi (Bruner),
menekakan pada cara individu mengorganisasikan apa yang telah mereka alami dan
pelajar.
f. Belajar Bermakna
(Ausubel), menekankan cara seseorang mengorganisasikan pengetahuan yang
didapatnya
g. Insigh atau Gestalt,
mamandang anak telah memiliki sikap dan keterampilan dari hasil belajarnya.
h. Lapangan (Lewin),
menurut teori ini belajar adalah usaha untuk menilai kembali dan mendapatkan
kejelasan dari ruang kehidupan, sehingga ruang kehidupan berubah
i. Tanda (sigh) (Tolman),
perilaku mengarah pada tujuan, diman belajar merupakan suatu harapan bahwa
stimulus akan diikuti oleh situasi yang jelas.
j. Fenomenologi (Snygg),
memandang individu itu berada dalam keadaan yang dinamis yang stabildan
memiliki persepsi fenomenologi.
Setelah mempelajari teori-teori belajar tersebut, maka
dapat disarikan sebagai berikut:
1. Teori belajar klasik
masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan
melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam
pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
2. Teori belajar
behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti
rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.
3. Teori-teori belajar
kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan
pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta,
2007:218).
E. Psikologi Sosial
Psikologi Sosial menurut Hollander (dalam Pidarta.2009:219) adalah
psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat yang
mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu social untuk mempelajari
pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar individu. Dengan demikian
psikologi ini akan mencoba melihat keterkaitan masyarakat dengan kondisi
psikologi kehidupan individu.
Ada kecenderungan umum bahwa orang membentuk kesan tentang orang
lain dengan pertemuan singkat, melihat dari gambaran luar, dan cenderung
membuat Keputusan tentang karakter orang bersangkutan. Pembentukan kesan
pertama terhadap orang lain memiliki tiga kunci utama yaitu:
1. Kepribadian orang itu.
Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita
yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
2. Perilaku orang itu.
Ketika melihat perilaku orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan dengan
cerita-cerita yang pernah didengar.
3. Latar belakang situasi.
Kedua data di atas kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu itu,
maka dari kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang
itu.
Dalam pendidikan, kesan pertama yang positif yang dibangkitkan
pendidik akan memberikan kemauan dan semangat belajar anak-anak. Motivasi juga
merupakan aspek psikologis sosial, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang
sulit untuk bersosialisasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, pendidik
punya kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar muncul, sehingga mereka
dengan senang hati belajar di sekolah. Menurut Klinger (dalam Pidarta,
2007:222) faktor-faktor yang menentukan motivasi belajar adalah.
1. Minat dan kebutuhan individu, jika
minat, jasmani, dan sosial dipenuhi, maka motivasi belajarnya akan muncul
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas,
jika anak memandang kesulitan pelajaran tidak terlalu berat, maka motivasi
belajar anak akan muncul
3. Harapan sukses, harapan ini umumnya
muncul karena anak menginginkan kesuksesan di masa mendatang.
Selain itu, keintiman mempunyai hubungan yang erat dengan
pendidikan karena dalam batas-batas tertentu, proses pendidikan membutuhkan
suatu keintiman persahabatan. Perilaku yang bertentangan dengan hubungan intim
adalah perilaku agresif. Yang dimaksud dengan agresif adalah perilaku yang
menyakiti orang lain. Ada tiga kategori agresif, yaitu:
1. Agresif anti sosial,
seperti memaki-maki
2. Agresif pro sosial,
seperti menangkap teroris
3. Agresif sanksi, seperti
memukul orang yang telah melecehkan
Perilaku agresif disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Insting berkelahi
2. Gangguan atau serangan
dari pihak lain yang membuat orang menjadi marah atau agresif
3. Putus asa atau tidak
mampu mencapai suatu tujuan
Cara untuk mengurangi perilaku agresif antara lain:
1. Katarsis, yaitu menyalurkan
ketegangan psikis kearah aktifitas-aktifitas.
2. Dengan belajar secara
perlahan-lahan menyadarkan diri bahwa agresif itu tidak baik.
F. Kesiapan Belajar dan
Aspek-aspek Individu
Kesiapan belajar secara umum menurut Pidarrta
(2009:229) adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari
pengalaman yang ia temukan. Pelengkap peserta didik atau warga
belajar sebagai subjek garis besarnya dapat dibagi menjadi
lima kelompok yaitu:
1. Watak, ialah sifat yang
dibawa sejak lahir yang hampir tidak dapat diubah. Misalnya watak pemarah,
pendiam, menyendiri, suka berbicara, dan sebagainya.
2. Kemampuan umum (IQ),
ialah kecerdasan yang bersifat umum. Kemampuan ini dapat dijadikan ramalan
tentang keberhasilan seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan atau tingkat
pendidikan yang dijalani.
3. Kemampuan khusus atau
bakat, ialah kemampuan tertentu yang dibawa sejak lahir. Kemampuan ini pada
umumnya memberi arah kepada cita-cita seseorang terutama bila bakatnya
terlayani dalam pendidikan.
4. Kepribadian, ialah
penampilan seseorang secara umum, seperti sikap, besarnya motivasi, kuatnya
kemauan, tabahnya menghadapi rintangan, penghargaannya terhadap orang lain,
kesopanannya, toleransinya dan sebagainya.
5. Latar belakang, ialah
lingkungan tempat dibesarkan terutamam lingkungan keluarga. Lingkungan ini
sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa bayi dan kanak-kanak.
Dalam kaitannya dengan tugas pendidikan terhadap usaha membina
peserta didik, terutama yang menginginkan perkembangan total ada
baiknya perlu mempertimbangkan segi jasmani yang juga dikembangkan atau
ditumbuhkan. Dengan demikian fungsi jiwa dan aspek-aspek individu yang akan
dikembangkan adalah
1. Rohani
a. Umum: Agama, perasaan,
kemauan, pikiran
b. Sosial : Kemasyarakatan,
cinta tanah air
2. Jasmani
a. Keterampilan
b. Kesehatan
c. Keindahan tubuh
G. Perkembangan Peserta
Didik sebagai Landasan Psikologis
Tinjauan tentang psikologi perkembangan, psikologi belajar,
psikologi sosial dan kesiapan belajar serta aspek-aspek individu, memberikan
dampak kepada konsep pendidikan. Dampak itu sebagian besar dalam bidang
kurikulum, sebab materi pelajaran dan proses belajar mengajar itu harus sejalan
dengan perkembangan, cara belajar, cara mereka mengadakan kontak sosial, dan
kesiapan mereka belajar. Dampaknya dalam konsep pendidikan menurut Pidarta
(2009: 237) adalah sebagai berikut:
1. Psikologi perkembangan
yang bersifat umum, memberi petunjuk kepada pendidik bagaimana seharusnya ia
menyiapkan dan mengorganisasi materi pendidikan serta bagaimana membina
anak-anak agar mereka mau belajar dengan sukarela.
2. Psikologi belajar.
a. Klasik; disiplin mental
bermanfaat untuk menghafal perkalian dan meelatih soal-soal dan
naturalis/aktualisasi diri bermanfaat untuk pendidik seumur hidup.
b. Behavioris bermanfaat
atau cocok untuk membentuk perilaku nyata, seperti mau menyumbang, giat
belajar, gemar menyanyi dsb.
c. Kognisi cocok untuk
mempelajari materi-materi pelajaran yang lebih rumit yang membutuhkan
pemahaman, untuk memecahkan masalah dan menciptakan ide baru.
3. Psikologi Sosial
a. Agar para siswa memiliki
konsep diri rill, maka pendidik perlu mengembangkan perilaku overt, persepsi
terhadap lingkungan secara wajar, dan sikap serta peasaan yang positif. Konsep
diri yang keliru, dapat merusak perkembangan anak.
b. Pendidik juga perlu
mengembangkan kemampuan memimpin dikalangan anak-anak.
c. Motivasi anak-anak juga
perlu di kembangkan pada saat yang memungkinkan melalui minat dan kebutuhannya.
d. Hubungan intim
diperlukan dalam proses konseling, pembingbingan, dan belajar dalam kelompok.
Karena itu hubungan seperti ini di perlu dikembangkan oleh para pendidik.
e. Pendidik perlu
membendung perilaku anti social, tetapi mengembangkan sgresif anti social dapat
dilakukan dengan menanamkan ketertiban, tidak mengganggu satu sama lain, dan
berupaya agar anak-anak tidak mengalami rasa putus asa.
f. Pendidik perlu
membendung perilaku agesif anti social tetapi mengembangkan agresif prososial
dan sanksi.
g. Pembentukan sikap bisa
secara alami, dikondisi, dan meniru sikap para tokoh
4. Kesiapan belajar yang
bersifat afektif dan kognitif perlu diperhatikan oleh pendidik agar materi yang
dipelajari anak-anak dapt dipahami dan diinternalisasi dengan baik.
5. Kesembilan aspek
individu haus diberi perhatian yang sama oleh pendidik serta dilayani dengan
seimbang.
6. Wujud perkembangan total
atau berkembang seutuhnya memenuhi tiga criteria, yaitu:
a. Semua potensi berkembang
secara proporsional
b. Potensi-potensi itu
berkembang secara optimal
c. Potensi-potensi itu
berkembang secara integratif.
Daftar Rujukan
Slavin, Robert. 2006. Education Psychology, Theory and
Practice.Amerika:John Hopkin University
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta:Rineke Cipta
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan: Landasan
Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta:Rineke Cipta
Nuulia, Dian. 2011. LAndasan Psikologi Pendidikan.
(Online) (https://www.riviewbuku.com/2019/01/artikel-mendidikkan-nilai-nilai-moral.html)
diakses tanggal 29 September 2013
Posting Komentar untuk "LANDASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN "