A.
Latar Belakang Otonomi Pendidikan
Sentralisasi
pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah
menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal
dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Pemberlakuan sistem
desentralisasi akibat pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
otonomi pemerintahan daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen
pendidikan yaitu manajemen yang dianggap memberi ruang gerak yang lebih luas
kepada pengelolaan pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era
kompetitif mencapai output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Otonomi
pengelolaan pendidikan ditujukan agar dapat diwujudkan pemenuhan kebutuhan
masyarakat dalam bidang pendidikan yang lebih cepat dan tepat, efektif dan
efisien, bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Seiring dengan itu otonomi
pendidikan berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan yang selama ini
ditentukan oleh pusat dilimpahkan menjadi wewenang
pemerintah daerah (Manulang,
2014:
http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html)
Dalam
konteks otonomi pendidikan, secara alamiah pendidikan adalah otonom. Otonomi pada
hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu
daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu
otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Dalam
pengertian otonomi pendidikan terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial,
artinya pendidikan dilaksanakan secara demokrasi sehingga tujuan yang
diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan
masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa (Ayuthree,
2012: http://ayu3nawang.wordpress.com/2012/05/26/otonomi-pendidikan-3/).
Kebijakan
desentralisasi akan berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan.
Setidaknya ada 4 dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi
pendidikan, yaitu : 1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki
sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber
daya yang dimiliki; 2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan
memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional; 3)
Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang
dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat; 4) Perluasan dan
pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok
sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan (Miftahudin, 2010: www.researchgate.net/profile/Miftah.../5046351640b2b99363.doc).
B.
Konsep Otonomi Pendidikan
Reformasi 1998 menjadi babak baru dalam
segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tak terkecuali
dalam bidang pendidikan. Era ini mendatangkan hawa perubahan pada arah
kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan otonomi daerah telah menghasilkan
kebijakan desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah dimana
masing-masing sekolah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan program yang
relevan dengan kebutuhan masyarakat. Otonomi
pendidikan memiliki pengertian luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi
pendidikan maupun manajemen pendidikan itu sendiri. Pengertian otonomi
pendidikan bersifat filosofis, karena untuk mendapatkan landasan yang kokoh
diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal
tentang hakikat otonomi (Ayuthree,
2012: http://ayu3nawang.wordpress.com/2012/05/26/otonomi-pendidikan-3/).
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara
alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya
bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah,
sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam
mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Sebagai sebuah bangsa yang
plural, sudah saatnya setiap daerah di negara ini melaksanakan program
pendidikan yang terbaik untuk daerahnya, sementara tugas pemerintah pusat hanya
membuat regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya
bagi terlaksananya pendidikan nasional sebaik mungkin (Ayuthree, 2012: http://ayu3nawang.wordpress.com/2012/05/26/otonomi-pendidikan-3/).
Sejarah perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai
suatu masa yang demokratis – kalau tidak dapat disebut liberal – ketika pada
saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai dari
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi”
perguruan tinggi negeri – dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) – melalui PP No. 25 tahun 2000, sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem
dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor
pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula,
pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan
intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis Miftahudin, 2010: www.researchgate.net/profile/Miftah.../5046351640b2b99363.doc).
1. Pengaturan
perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2. Manajemen
partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3. Penguatan
kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4. Pemberdayaan
bersama sumber daya pendidikan,
5. Hubungan
kemitraan stakeholders pendidikan,
6. Pengembangan
infrastruktur sosial.
Otonomi
pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
adalah terungkap pada Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua,
Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”, pasal 9: “Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, pasal 11 ayat (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang
berusia tujuh sampai lima belas tahun” (Miftahudin,
2010: www.researchgate.net/profile/Miftah.../5046351640b2b99363.doc).
Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi
(otonomi) sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap kebijakan daerah. Dalam
perumusan kebijakan daerah tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci saja, akan
tetapi melibatkan semua unsur, seperti pejabat struktural dan non-struktural,
resmi dan tidak resmi, langsung maupun tidak langsung mempunyai andil terhadap
kebijakan tersebut. Implikasi yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut
juga akan melibatkan banyak faktor. Tim
Teknis Bappenas yang bekerja sama dengan Bank Dunia mengemukakan bahwa konsep
desentralisasi dan implikasinya sebagai berikut: (1) implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan
potensi dan kebutuhan setempat, (2) impilkasi kelembagaan, yakni kebutuhan anak
untuk meningkatkan kapasitas perencaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah,
(3) implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah untuk
dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan (4) implikasi
pendekatan perencanaan pendidikan, yakni kebutuhan untuk memperkenalkan model
pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah, dengan melibatkan peran serta
masyarakat semaksimal mungkin (Chaldun, 2013: http://www.ibnuchaldun.ac.id/2013/01/desentralisasi-pendidikan-otonomi-daerah.html).
C.
Prolematika Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut
Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan
ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi
administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya. Ada 6 faktor
yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu : 1) Belum
jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan
kota. 2) Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum
siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas
yang tidak memadai. 3) Dana pendidikan dan APBD belum memadai. 4)
Kurangnya perhatian pemerintah maupun
pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
pendidikan. 5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai
penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi
pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas
utama. (6) kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam
penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang
dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan terjadinya kesenjangan antar daerah,
sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu
pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian
masing-masing daerah (Manulang, 2014: http://pakguruonline.pendidikan.net/otonomi_pendidikan.html).
D.
Penolakan Masyarakat Terhadap Otonomi Pendidikan
Pelaksanaan otonomi pendidikan menghadapi banyak
hambatan yang perlu segera dipecahkan. Sejumlah hambatan muncul karena
perbedaan tingkat komitmen daerah dalam pengembangan pendidikan, lemahnya
profesionalisme daerah dalam mengelola pendidikan dan tenaga kependidikan,
perbedaan interpretasi antara kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Wacana otonomi pendidikan juga telah mendapatkan penolakan dari
sejumlah masyarakat daerah yang khawatir jika wacana tersebut akan menyebabkan
liberalisasi dan komersialisasi satuan pendidikan (baik perguruan tinggi maupun
sekolah-sekolah) (Pitakasari, 2013: http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/8-berita/101-banyak-masalah-pelaksanaan-otonomi-pendidikan-dikaji-ulang).
Kesiapan daerah dalam mewujudkan otonomi
pendidikan dengan prinsip adil, akuntabilitas, transparan, serta diakui juga
menjadi penyebab penolakan masyarakat daerah, teruatama daerah-daerah dengan
APBD menengah ke bawah dan daerah-daerah tertinggal (3T). Khusus untuk kedua
daerah yang memiliki karakteristik di atas, umumnya penolakan juga berkaitan
dengan kesiapan sarana dan prasarana serta jumlah dan SDM tenaga kependidikan yang
masih belum memadai. Dengan adanya otonomi pendidikan tentunya masyarakat
daerah-daerah tersebut justru meragukan kinerja pemerintah daerah dalam
mewujudkan pendidikan yang berkualitas, adil dan terjangkau oleh masyarakat
daerah tersebut.
Kembali kita tegaskan bahwa otonomi pendidikan
tidak boleh sebagai alat liberalisasi dan komersialisasi pendidikan karena
sangat bertentangan dengan pendapat umum yang menginginkan pendidikan nasional
tidak bisa dijadikan alat komoditas karena bertentangan dengan pancasila dan
UUD 1945. Pendidikan merupakan proses penanaman nilai budaya, intelektualitas,
religiositas, dan cinta kepada tanah air. Dalam konteks inilah, negara harus
berperan besar apalagi anggaran pendidikan 20% merupakan amanat UUD 1945. Kita
sepakat bahwa nilai-nilai luhur bangsa tidak boleh luntur tetapi harus
ditumbuhkembangkan. Pendidikan merupakan amanat konstitusi sehingga negara
tidak dapat lepas tangan sekalipun dengan alasan otonomi pendidikan (Muta'allimin, 2009: http://nasacenter.blogspot.com/2009/11/liberalisasi-pendidikan-bertentangan.html).
Posting Komentar untuk "PENOLAKAN TERHADAP OTONOMI PENDIDIKAN"