SASTRA MITOLOGIS: SEBUAH RUANG KONTEMPLASI DI ZAMAN MODERNIS BAG. 1
SASTRA MITOLOGIS:
SEBUAH RUANG KONTEMPLASI
DI ZAMAN MODERNIS BAG. 1
Malin Kundang telah terkutuk, dan tak
seorang pun mencoba memahaminya.
Perahunya kandas di depan pantai, dan
dalam legenda disebutkan,
bahwa pemuda durhaka itu kemudian menjadi
batu.
Ibunya telah mengucapkan kutuk atas
dirinya.
Perempuan tua yang miskin itu kecewa dan
sakit hati:
anak tunggalnya tak mau mengenalnya lagi,
ketika ia singgah sebentar di desa
kelahirannya sebagai seorang kaya setelah
mengembara bertahun-tahun.
Dan kisah turun-temurun ini pun berkata,
bahwa dewa-dewa telah memihak sang ibu.
Ini berarti bahwa semua soal berakhir
dengan beres:
bagaimana pun, setiap pendurhakaan harus
celaka.
Tak seorang pun patut memaafkan si Malin
Kundang.
Kita tak pernah merasa perlu memahami
perasaan-perasaannya.
(Malin Kundang, Goenawan Mohamad)
Dan
Goenawan Mohamad yang modernis pun akhirnya tak bisa lepas dari mitologi.
Kesusastraan Indonesia memang tidak bisa terlepas begitu saja dari kristalisasi konsep-konsep, nilai-nilai, dan norma-norma yang
menjiwai sikap hidup masyarakat. Bahkan oleh seorang Chairil Anwar, Sutan
Takdir Alisyahbana, maupun Sutardji Colzoum Bahri yang memakai gaya bermantra
dalam puisi-puisinya.
Goenawan Mohamad, setelah sekian puluh tahun menggeluti dunia
syair dan jurnalistik koran, justru menamai dirinya sebagai seorang Malin yang telah
durhaka kepada akar tradisi. Ia mengaku telah berjalan terlalu jauh dari
kampung halamannya, dari konsep-konsep yang mendasar dan membumi, hingga
kemudian ia merasa terasing—ataukah mungkin lebih tepatnya antara terasing dan
putus asa? Dulu ia tak pernah menganggap sastra Jawa klasik sebagai suatu
khazanah yang harus dilanjutkan. Baginya puisi Jawa dalam bentuk tembang itu
terlalu sarat dengan kata-kata sulit: orang tiap kali harus menerkanya satu
persatu seperti teka-teki. Pandangannya jauh ke depan, berkiblat pada
modernitas barat, tentang sastra, budaya, ideologi, dan politik.
Dalam puisinya juga, “Bintang Kemukus”, misalnya: Bintang kemukus/lewat lalu lenyap//hampir tak terlihat/isyarat itu//Mengapa engkau terkesiap: wabah atau ketakutankah/yang menunggumu, yang menunggumu?// ia seolah ingin menegasi tentang konsep telah lama dipercaya. Tentang datangnya wabah penyakit atau pagebluk yang muncul jika bintang itu datang. Manusia hakikatnya bukanlah ditentukan oleh kemunculan bintang kemukus. Terjadinya wabah atau pagebluk semata-mata karena sudah menjadi kehendak Tuhan pemilik semesta.
Goenawan Mohamad berjalan dalam perubahan-perubahan.
Ia tak dipahami dan dimengerti. Ia pun tak memahami dan mengerti, sebagaimana
orang-orang tua dan siapa saja, tentang diri, lingkungan, dan dunia. Yang
kemudian dilakukannya adalah mempertanyakan dan merumuskan jawab, pencarian
atas kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah sampai ujung itu. Setelah itu,
apakah yang terjadi? Seperti biasa, pencarian
senantiasa berteman dengan kebimbangan. Ia bimbang dengan sekian perjalanan
pencarian yang sudah dan akan dihadapinya, salah satunya adalah adanya
kenyataan betapa ketika ia kembali, pulang, berhadapan dengan kehidupan muasal,
ia pulang sebagaimana layaknya seorang asing. Menjadi Malin Kundang adalah
menjadi seorang terkutuk.
Kesadaran semacam ini adalah sebentuk pemberontakan atas
kemapanan, atas kebenaran yang sekian lama dianut dan diyakini masyarakatnya.
Dengan demikian, siapa pun ia yang berbuat demikian, berarti ia telah
menasbihkan dirinya sebagai Malin Kundang. Selain itu, di mana pun—apalagi di
negeri ini—penyair adalah makhluk langka dan puisi adalah keganjilan. Seseorang
boleh saja menjadi penyair dan hidup dengan sajak-sajaknya, tapi begitu ia
menampilkan dirinya sebagai penyair di hadapan masyarakat jamak, jadilah ia si
Malin Kundang, si anak durhaka yang tak termaafkan.
Orientasi pengarang kita dalam berkarya, pada awalnya memang
memperlihatkan sikap modernis dan bergaya ala barat dengan pemikiran-pemikiran
modern yang menjadi dasar berpijak mereka. Salah satunya termasuk Goenawan
Mohamad sendiri. Namun, dalam kehidupan yang modernis, pada akhirnya mereka
kembali kepada konsep-konsep kedalaman mitologi. Akhir-akhir ini banyak sekali
karya sastra yang justru mengangkat kembali mitologi, baik itu sekadar untuk
ide cerita saja maupun sebagai bentuk kontemplasi diri penulis yang sedikit
banyak juga mempengaruhi dan mencerminkan sikap hidup dan gaya kepulisannya.
Namun, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa mitologi justru muncul dalam
kehidupan modern? Ini Sebuah kebingungan, kebuntuan, kegamangan,
kerinduan, atau apa?
Karya-Karya Mitologis: Melirik Puisi Goenawan
Mohamad
Hal yang menarik pada perkembangan
kepenyairan Goenawan Mohamad adalah, dalam Don
Quixote maupun delapan puisi dari Tujuh
Puluh Puisi, ia bukan hanya lebih cerah, melainkan juga lebih mantap menatap
ke depan. Selama ini, kepenyairan Goenawan Mohamad memang ia baratkan sendiri
sebagai "Si Malin Kundang" esai yang menjadi judul buku
kumpulan esainya (Potret Seorang Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang, terbit
1972).
Kumpulan Puisi Don Quixote memuat 19 puisi Goenawan Mohamad,
dari periode 1997 sampai 2010, yang semuanya terinspirasi dari Mahakarya Miguel
de Cervantes. Ada perkembangan baru pada Goenawan Mohamad dalam Don Quixote, dibanding karya-karya
sebelumnya. Dalam Don Quixote,
Goenawan Mohamad seakan bisa tersenyum, dan menatap ke depan penuh semangat.
Ini paralel dengan puisi-puisi dari periode sama, yang dimuat dalam Tujuh Puluh Puisi. Ada delapan puisi
yang ditulis antara 2008—2011, Di Korinthus (2006—2009), Pada Sebuah Panggung
(2008), 15 Tahun Lagi (2008—2009), Hologram (2009), Sekhak (2010), Ronggeng
Monyet (2011), Tentang Kembang (2011), dan Gerontion (2011). Dari delapan puisi
itu, hanya satu puisi yang menyinggung soal kematian, yakni Ronggeng Monyet
(2011), itu pun bukan dalam suasana muram, melainkan lebih mendefinisikannya.
Selebihnya mendefinisikan cinta dan prosa, mendefinisikan sajak, keragu-raguan
terhadap Tuhan, "pertemuan" dengan seseorang yang pernah sangat
dekat, absurditas perang, sikap pasrah, serta ketegasan dan sikap pasrah.
Dari 19 puisi dalam Don
Quixote, hanya ada lima puisi yang menyebut tentang kematian (26,3%).
Sementera selebihnya tentang semangat, kepasrahan, dan daya hidup sebanyak 13
puisi (68,4%). Perkembangan ini cukup menarik, sebab periode 2007—2010 (atau
2011), adalah saat Goenawan Mohamad berusia 66 sampai dengan 69 (dan 70). Ini
mirip dengan ketika pelukis Affandi pada usia yang sama juga menjadi lebih
cerah. Kalau periode mudanya Affandi lebih banyak menampilkan
kesemrawutan, dan warna-warna kusam, maka pada hari tuanya lebih banyak bidang
kanvas yang kosong, dan banyak warna cerah yang dimunculkan.
Kepasrahan Goenawan Mohamad, pada akhir dekade 2000-an, bisa
jadi terkait dengan berakhirnya tarik menarik antara "kampung
halaman", dalam hal ini kultur Jawa, dengan "dunia rantau" Si
Malin Kundang, dalam hal ini kultur Barat. Pada akhirnya dikotomi barat dan
timur, tradisi dan modern, bahkan kuno versus postmo, memang bisa tidak
diperlukan. Tetap tidak pernah ada yang sempurna di bumi ini. Barat, yang
diidentikkan dengan kultur Eropa dan AS, belakang tampak kedodoran di bidang
ekonomi maupun politik. Sejak skandal finansial Lehman Brothers, dan Bernard
Madoff, yang berakibat ke krisis finansial dan perekonomian global; juga sejak
"invasi" AS ke Afganistan dan Irak, belakangan invasi NATO ke Libya;
maka Eropa dan AS, ternyata juga bukan tanpa cela. Ternyata mereka selama ini
hidup sangat boros dari hasil mengutang. Justru RRC, yang sangat tidak
demokratis, yang Atheis, dan Komunis, saat ini bukan hanya tidak punya hutang,
melainkan punya cadangan devisa terbesar di dunia. Dugaan saya perubahan peta
dunia ini sedikit banyak juga mempengaruhi dunia kreativitas Goenawan Mohamad.
Secara konkret, cerahnya puisi dalam kumpulan Don Quixote, dan delapan puisi terbaru
dalam Tujuh Puluh Puisi, ditandai dengan adanya perubahan makna warna hijau,
dari mengerikan ke menyejukkan. Misalnya: gumpal
darah di gelas itu menghijau (Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi
Logam, 1971). Di pantai, tepi memang
tinggal terumbu hijau (mungkin kelabu) (Pada Sebuah Pantai: Interlude,
1973). Dan malam jadi hijau/ sesenyap
lukisan (Lagu Obo, 1985—1986). Matahari
jadi hijau/ Dan untuk lima detik, di tasik itu juga hijau jadi hening
(Karena Tamblingan, Ia Berkata, 2001). Misalkan
terkait air pada hijau (Pastoral, 2002). Hijau tak diacuhkan hujan, agaknya, juga burung yang bertebar di ladang
garam (Sebelum Bom, 2005). Sumur:
sebuah liang hijau (Piknik); hijau
kimia (Cerita Manuel untuk Nadia). Hijau di sini adalah hijau yang
mengerikan. Bahkan warna putih pun bukan tanda kesucian serta kebersihan,
melainkan lambang kematian: kupu-kupu
putih/ melenyap putih/ ke loteng lengang (Buat H.J. dan P.G. 1990).
Belakangan, warna hijau itu menjadi menyejukkan: Di lorong itu dinding-dinding/ kuning gading,/ kebun basah hijau,/ dan
kau taburkan biru (Hologram, 2009).
Dalam Don Quixote,
warna-warna tetap tampil, tetapi sama dengan puisi periode 2007—2011,
warna-warna di sini menjadi lebih memancarkan daya hidup, bukan daya mati: di
mana fantasi adalah hijau hujan (Ia Menangis). Bahkan ketika warna itu
diterapkan pada sesuatu yang menyakitkan pun, keindahan yang terasa, bukan
ketakutan. Di sinilah seorang penyair ditantang, bagaimana ia dengan materi
yang sama, yakni kata-kata, bisa menampilkan imaji yang berbeda kepada
pembacanya. Warna hijau dalam makna umum, sangat dirindukan oleh masyarakat
yang tinggal di gurun, juga di kawasan Artik. Sebab itu berarti oasis, berarti
kehidupan. Maka simaklah warna bendera negeri Timur Tengah, selalu ada warna
hijau. Tapi ketika gumpal darah di gelas itu menghijau, warna kehidupan itu
berubah menjadi warna kematian.
Wajah cerah Goenawan pada puisi mutakhirnya, harus kita
sambut dengan gembira. Selama ini ia berhasil menampilkan kemurungan, dan
kemuraman bersamaan dengan seks sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Banyak penyair besar juga menampilkan hal yang sama, Amir Hamzah, Chairil
Anwar, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, akan tetapi kemuraman, dan kemurungan
tetap bukan segala-galanya. Tidak semua penyair besar menuliskan puisinya dalam
warna buram. Kita juga punya Penyair Besar yang berpenampilan sangat sederhana:
Ramadhan K.H. Ia berhasil justru karena menampilkan keindahan, dan keceriaan
"Tanah Priangan". Berikut adalah kutipannya.
Membelit
tangga di tanah merah
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
(Ramadhan K.H. Priangan Si Jelita)
dikenal gadis-gadis dari bukit.
Nyanyikan kentang sudah digali,
kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk,
Jamrut di hati gadis menurun.
Harum madu
di mawar merah,
mentari di tengah-tengah.
Berbelit jalan
ke gunung kapur,
antara Bandung dan Cianjur.
(Ramadhan K.H. Priangan Si Jelita)
Dan
Goenawan Mohamad pun juga bisa menutup kumpulan Don Quixote dengan keyakinan yang indah pula:
Doa Padri Dusun
Tuhan
pada rimbun zaitun
titahkan
bukit jadi dingin
titahkan
para pahlawan
mati
di sepanjang lereng
beri aku
dongeng
di mana aku
tak bersembunyi.
Tidak lagi.
2010
Kita memang tidak perlu,
dan juga tidak mungkin bersembunyi lagi, sebab dunia sudah telanjang bulat.
Bahkan ballpen dan pemantik api yang ditaruh di halaman rumah pun, bisa diintip
lewat satelit. Tapi menyeimbangkan siklus kehidupan tetap perlu. Dan dua
kumpulan puisi terbaru Goenawan Mohamad ini, telah mencoba ikut menyeimbangkan
siklus kehidupan.
Daftar
Referensi
Mohamad, G. 2009. Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang.
(Online),
(http://goenawanmohamad.com/2009/07/29/potret-penyair-muda-sebagai-si-malin-kundang/).
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Zaidan, A. R, dkk. 1997. Mitologi
dalam Puisi Modern 1950—1970. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Posting Komentar untuk "SASTRA MITOLOGIS: SEBUAH RUANG KONTEMPLASI DI ZAMAN MODERNIS BAG. 1"